TEMPO.CO, Jakarta - Seniman Cina yang terkenal sering mengkritik kebijakan Beijing, Ai Weiwei, menilai, gelombang protes yang muncul baru-baru ini tidak akan menggoyahkan Pemerintahan Presiden Cina Xi Jinping. Dia menyebut Polisi akan membungkam para demonstran.
Ai mengatakan protes tidak mungkin berlanjut - bukan hanya karena aparat keamanan akan membubarkan mereka yang bersuara, tetapi juga karena para demonstran tidak memiliki organisasi dan kepemimpinan.
"Tidak ada agenda politik yang jelas sehingga sangat mudah untuk menangkapi mereka, kemudian berlalu begitu saja," kata Ai saat ditemui Reuters di rumahnya di Portugal, Senin, 28 November 2022.
Baca juga: Amerika Tambah Daftar Produk Perusahaan Teknologi Terlarang Asal Cina
Seniman asal Cina, Ai Weiwei. Sumber: Reuters
Menurut Ai, dibandingkan dengan demonstrasi ini, ada lebih banyak tuntutan pada 1989 ketika tindakan berdarah terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi di dan sekitar Lapangan Tiananmen Beijing. Bahkan jika sesuatu terjadi (pada) skala Hong Kong atau skala tragedi Lapangan Tiananmen 1989, maka unjuk rasa menolak lockdown tidak akan menggoyahkan Pemerintah Cina.
Para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di Shanghai, Beijing, dan kota-kota lain dalam beberapa hari terakhir untuk berdemonstrasi menentang kebijakan pembatasan Covid-19. Aksi ini merupakan pembangkangan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Presiden Xi mengambil alih kekuasaan.
Hampir tiga tahun setelah pandemi, Cina mengatakan kebijakannya tidak diarahkan untuk nol kasus Covid-`19 setiap saat, tetapi secara dinamis segera mengambil tindakan ketika kasus muncul.
Saat ditanya mengenai siapa yang bisa memimpin gerakan protes, Ai mengatakan tidak ada karena Cina tidak memiliki lingkungan politik. Ai pernah dijebloskan ke penjara di Cina selama 81 hari pada 2011.
"Selama 70 tahun, mereka membersihkan setiap orang, intelektual atau media yang dapat mengajukan pertanyaan apapun," kata Ai.
Meskipun Ai mengatakan protes sepertinya tidak akan berdampak pada pemerintah, dia mengatakan Partai Komunitas Cina yang berkuasa sangat khawatir dengan revolusi dan akan melakukan segalanya untuk mencegah hal ini terjadi. Caranya, mulai dari sensor internet hingga penggunaan kekuatan aparat Kepolisian.
Protes di Cina dipicu oleh kebakaran di wilayah Xinjiang pekan lalu yang membuat 10 orang tewas terpanggang karena terjebak di dalam apartemen mereka. Para pengunjuk rasa mengatakan tindakan penguncian atau lockdown harus disalahkan dalam kasus ini, meskipun para pejabat membantahnya.
Protes telah menyebar ke sejumlah kota di seluruh dunia untuk menunjukkan solidaritas. Pada Senin malam, 28 November 2022, puluhan pengunjuk rasa berkumpul di kawasan pusat bisnis Hong Kong, tempat demonstrasi anti-pemerintah terjadi pada 2019.
Seorang Juru Bicara di Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan dalam pengarahan rutin pada Senin, 28 November 2022, Beijing tidak mengetahui adanya protes di luar negeri yang menyerukan diakhirinya kebijakan Covid-19.
Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya telah mendukung hak orang untuk melakukan protes secara damai di Cina, tetapi Ai menuding negara-negara Barat itu hanya karena memprioritaskan agenda ekonomi mereka ketimbang HAM.
"Ketika berhadapan dengan Cina, saya pikir (untuk) setiap pemerintah prioritasnya adalah...mendapatkan pengaruh ekonomi. Anda tidak bisa menyalahkan mereka karena mereka juga ingin bertahan hidup, tetapi dengan melakukan itu, mereka kehilangan kredibilitas dalam membela dunia bebas atau membela demokrasi. Sungguh kasihan," kata Ai.
REUTERS
Baca juga: Otoritas China Mulai Menyelidiki Protes Anti-Pembatasan COVID-19
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.