TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan di Chad meledak ketika ratusan orang memprotes pemerintah pada Kamis, 20 Oktober 2022. Insiden ini menewaskan 50 orang, termasuk Allasem, seorang laki-laki berusia 22 tahun.
Ratusan demonstran turun ke jalan-jalan di ibu kota N'Djamena dan kota-kota lain untuk menuntut transisi yang lebih cepat ke pemerintahan demokratis hanya beberapa minggu setelah junta militer mengumumkan akan memperpanjang masa kekuasaannya dua tahun.
Polisi bereaksi dengan menembakkan peluru tajam ke arah pengunjuk rasa, kata kelompok hak asasi, termasuk Amnesty International. Sekitar 300 orang terluka, kata pemerintah.
Pemimpin oposisi Succes Masra melaporkan korban tewas lebih tinggi dari 70, dengan lebih dari 1.000 diduga terluka dan disiksa.
Timothe Sidjim, ayah dari Allasem meninggalkan kamar mayat dengan mata memerah dan wajah kuyu setekah mengidentifikasi putranya sebagai salah satu korban tewas dalam kerusuhan itu.
Sidjim pergi ke kamar mayat pada Jumat pagi, 21 Oktober 2022, setelah salah satu teman Allasem menelepon untuk menyampaikan kabar tersebut. Sebuah peluru bersarang di dada Allasem.
"Rumah sakit mencoba menelepon semua kontak di teleponnya dengan harapan menemukan kerabatnya," kata Sidjim, 69 tahun, yang masih belum pulih dari gas air mata yang dia hirup selama protes.
Jalanan N'Djamena yang biasanya ramai menjadi sepi pada Jumat. Lalu lintas lancar ketika melewati barikade dan terdapat ban hangus sisa dari demonstrasi.
Pasukan keamanan berdiri di bundaran dan berjajar di jalan-jalan utama.
Pada hari Jumat, Presiden Mahamat Idriss Deby mengunjungi para korban yang pulih dari cedera di rumah sakit.
Sidjim berduka atas kehilangan itu seperti banyak orang lain.
"Anak saya baru berusia 22 tahun. Dia baru saja mendapatkan ijazah SMA tahun ini, tapi sayangnya mimpinya hancur," katanya.
"Sangat sulit untuk mengubur anak-anak di masa jayanya."
Protes sporadis terjadi di Chad sejak kudeta militer pada April 2021 di mana Mahamat Deby mengambil alih kekuasaan setelah kematian ayahnya, penguasa lama Idriss Deby.
Tetapi ketegangan telah meningkat bulan ini sejak resolusi baru yang diadopsi bulan ini mengundurkan kembali jadwal pemilihan ke 2024 dan memungkinkan Deby mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemungutan suara.
Protes pada Kamis tampaknya menjadi yang paling berdarah, memicu kecaman dari kelompok-kelompok HAM yang menuduh pasukan keamanan membantai warga sipil dan mendesak penyelidikan atas peristiwa tersebut.
Pemerintah telah menggambarkan protes sebagai pemberontakan bersenjata "untuk merebut kekuasaan".
Pihak berwenang masih mengumpulkan jumlah korban tewas. Pengadilan diperintahkan untuk membuka penyelidikan pada hari Jumat.
Pejabat di kamar mayat mengatakan kepada Sidjim bahwa mereka perlu menyimpan mayat selama 24 jam lagi untuk melakukan otopsi, katanya.
Kekuatan internasional, termasuk Uni Afrika, PBB dan Amerika Serikat mengutuk kekerasan tersebut. Namun pemerintah Chad menilai pemerintah asing berlebihan.
"Pemerintah akan membentuk komisi penyelidikan sesegera mungkin," kata Menteri Luar Negeri Mahamat Saleh Annadif kepada duta besar asing yang dipanggil untuk pertemuan pada hari Jumat.
"Beberapa negara Anda bereaksi sangat cepat terhadap protes," katanya. "Reaksi yang cepat terhadap peristiwa semacam ini dapat menyebabkan kesalahpahaman yang tidak diinginkan oleh pemerintah."
Kedutaan Besar Amerika Serikat di N'Djamena pada hari Kamis memposting foto duta besar berlutut di dekat tumpukan puing-puing bernoda darah dan sepatu yang dibuang.
REUTERS | NESA AQILA