Warna-warni kembang api menghiasi langit dekat patung Laksamana Admiral Pavel Nakhimov saat perayaan satu tahun referendum Krimea di Sevastopol, Krimea, 18 Maret 2015.Presiden Rusia Vladimir Putin dan ratusan ribu warga memadati pudat kota Moscow untuk merayakan satu tahun aneksasi semenanjung Krimea. AP/Alexander Polegenko
Tensi perang Ukraina makin meninggi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin beberapa waktu lalu mengumumkan mobilisasi militer parsial untuk mendongkrak perang Ukraina. Warga Rusia banyak yang protes dan kabur dari tanah airnya karena menolak wajib militer.
Pencaplokan empat wilayah Ukraina oleh Rusia memanaskan ketegangan dua negara sama-sama bekas Uni Soviet itu. Tak lama setelahnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengumumkan pengajuan jalur cepat keanggotaan blok militer Barat, NATO.
Berbeda dengan pendapat Fitriani, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana justru mengatakan Indonesia perlu mengambil sikap netral. Artinya, tidak mendukung maupun mengecam hasil referendum tersebut.
"Sikap mempertahankan status quo karena Indonesia sebagai Presiden G20 ingin memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak yang berseteru di Bali pada pelaksanaan KTT G20 November," ujar Hikmahanto dalam pernyataan yang diterima Tempo.
Dia menambahkan, Indonesia perlu mengambil posisi tidak berpihak agar Rusia dan Ukraina nyaman melakukan pembicaraan dan menyepakati solusi pengakhiran perang.