TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Ranil Wickremesinghe menyatakan Gotabaya Rajapaksa tidak akan kembali ke Sri Lanka dalam waktu dekat. Ranil menilai kepulangan eks Presiden Sri Lanka itu dapat mengobarkan ketegangan politik.
"Saya tidak percaya ini saatnya dia kembali," kata Wickremesinghe dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, dilansir Reuters, Senin, 1 Agustus 2022. "Saya tidak punya indikasi dia akan segera kembali."
Gotabaya Rajapaksa melarikan diri pada 13 Juli 2022. Ia mengundurkan diri dari posisinya akibat pergolakan politik yang disebabkan krisis di Sri Lanka.
Eks presiden Sri Lanka awalnya berencana menetap di Singapura selama 14 hari setelah kabur dari negaranya. Baru-baru ini Singapura telah memperpanjang masa tinggalnya selama dua pekan.
Tak lama setelah Gotabaya mundur, Wickremesinghe memenangkan pemungutan suara di parlemen untuk menjadi presiden baru. Setelah menjabat, Wickremesinghe tetap berhubungan dengan Rajapaksa untuk menangani masalah serah terima administrasi dan urusan pemerintah lainnya.
Keuangan Sri Lanka lumpuh oleh utang yang menumpuk karena fokus pembangunan besar-besaran pasca-perang saudara yang berakhir di 2009. Pemerintah mengucurkan banyak investasi pada jalan dan pelabuhan.
Selain itu pemotongan pajak yang diberlakukan oleh rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa juga membuat ekonomi terpuruk. Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun, termasuk kepada China sebesar US$ 6,5 miliar (Rp 97,7 triliun).
Sri Lanka tidak bisa membayar utang. Sri Lanka juga tidak memiliki uang untuk mengimpor barang-barang pokok. Mereka hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat.
Masyarakat Sri Lanka menyalahkan Gotabaya Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata. Krisis ekonomi di Sri Lanka kian parah sejak dihantam pandemi COVID-19.
Sri Lanka telah melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional tentang paket bailout. Pada April, Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran utang luar negeri sekitar US$ 12 miliar (Rp 178 triliun) dan memiliki pembayaran hampir US$21 miliar (Rp 312 triliun) yang akan jatuh tempo pada akhir 2025.
Wickremesinghe berharap kesepakatan tingkat staf IMF akan tercapai pada akhir Agustus. Dia menambahkan, Sri Lanka harus mengamankan lebih dari US$ 3 miliar (Rp 44 triliun) dari sumber lain tahun depan untuk mendukung impor penting termasuk bahan bakar, makanan, dan pupuk.
Dia juga mengatakan kepada surat kabar itu, Sri Lanka butuh waktu berbulan-bulan untuk melihat peningkatan yang nyata dalam keadaan ekonomi mereka.
Baca: Pria Sri Lanka Ditangkap Polisi Gara-gara Curi Bendera dari Rumah Eks Presiden
REUTERS | WALL STREET JOURNAL