TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengusulkan agar ASEAN mengevaluasi Konsensus Lima Poin (5PC) untuk krisis Myanmar, menyusul keputusan Myanmar mengeksekusi mati empat aktivis pro-demokrasi baru-baru ini.
Pemerintah Junta memvonis hukuman mati bagi mantan legislator Phyo Zeya Thaw, aktivis demokrasi Kyaw Min Yu, Aung Thura Zaw, dan Hla Myo dalam persidangan tertutup pada Januari 2022. Eksekusi pelaksanaan hukuman mati terhadap keempatnya dikonfirmasi oleh rezim militer Myanmar pada Senin, 25 Juli 2022.
Keempat aktivis itu, dituduh membantu melawan militer, yang merebut kekuasaan Pemerintah sipil Myanmar dalam kudeta Februari 2021. Kudeta tersebut dipimpin oleh Panglima Militer Min Aung Hlaing.
Menurut Retno, eksekusi mati itu karena 5PC yang sudah disepakati sejak 1,5 tahun lalu, mandek. Hukuman mati para aktivis itu merupakan indikasi kemunduran 5PC dan junta militer yang tidak berkomitmen menerapkannya.
"Sudah waktunya ASEAN membahas lagi secara lebih serius tidak adanya progres yang signifikan terhadap implementasi 5 Point Consensus," kata Retno dalam keterangan usai kunjungan kerja Presiden RI Joko Widodo ke Jepang, Rabu, 27 Juli 2022.
5PC adalah kesepakatan para pemimpin ASEAN yang dicapai pada April 2021 untuk merespon krisis di Myanmar paska-kudeta militer. Kesepakatan 5PC itu terdiri dari 5 poin, yakni dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara segala pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman delegasi ASEAN ke Myanmar.
Retno mengusulkan, dalam pertemuan tingkat menteri di ASEAN atau ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Phnom Penh awal Agustus ini, agar perkembangan situasi di Myanmar dibahas secara khusus karena sangat penting.
Eksekusi mati keempat aktivis ini, telah memancing kecaman dari kelompok HAM baik di kawasan ataupun tingkat global. Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Australia, Uni Eropa, sampai PBB juga menyerukan kecamannya.
Pengunjuk rasa menggunakan senjata rakitan selama protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar 3 April 2021. REUTERS/Stringer
ASEAN, melalui keketuaan Kamboja, mengecam keras Myanmar karena telah memberlakuan eksekusi mati itu dan menyatakan perbuatan itu sangat tercela.
Tidak dipublikasi bagaimana dan kapan eksekusi itu dilaksanakan. Anggota keluarga dari tahanan yang dihukum mengatakan mereka tidak dikabari perihal eksekusi mati itu, dan tidak diizinkan untuk mengambil jenazahnya.
Militer Myanmar yakin putusan eksekusi mati empat aktivis demokrasi yang dijalankannya sudah benar. Rezim itu menepis tekanan internasional, termasuk dari negara-negara tetangga, dengan menyatakan bahwa mereka hanya menegakkan keadilan.
Juru Bicara Junta Zaw Min Tun pada Selasa, 26 Juli 2022, mengatakan, orang-orang itu hanya diberi proses hukum. Ia bersikeras bahwa mereka yang dieksekusi bukanlah aktivis demokrasi, namun para pembunuh yang pantas menerima vonis tersebut.
Adapun, eksekusi tersebut menandai penggunaan hukuman mati pertama di negara Myanmar dalam beberapa dasawarsa. Menurut Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis, eksekusi yudisial terakhir di Myanmar terjadi pada akhir 1980-an. Eksekusi sebelumnya dilakukan dengan cara digantung.
Baca juga: Presiden Jokowi Bertemu Li Keqiang, Cina Janji Tambah Impor CPO 1 Juta Ton
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.