TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Sri Lanka yang baru Ranil Wickremesinghe pada Minggu, 24 Juli 2022, memutuskan mengizinkan aksi protes, yang tanpa kekerasan untuk mengkritik pemerintahannya. Unjuk rasa juga boleh dilakukan di Ibu Kota Kolombo, asal tidak ada anarki.
Sebelumnya pada Jumat dini hari, 22 Juli 2022, ratusan aparat keamanan membongkar kemah-kemah anti-pemerintah, yang didirikan di luar gedung sekretariat kepresidenan Sri Lanka. Tindakan itu, memunculkan kekhawatiran langkah yang lebih luas akan dilakukan oleh Presiden Wickremesinghe, yang baru sehari sebelumnya mengucap sumpah jabatan sebagai Presiden Sri Lanka.
“Presiden Ranil Wickremesinghe telah menegaskan kembali komitmen Sri Lanka untuk menegakkan hak-hak perdamaina dan dewan yang tanpa kekerasan,” demikian keterangan kantor Kepresidenan Sri Lanka dalam sebuah pernyataan.
Seorang pengunjuk rasa dihibur oleh sesama demonstran setelah penggerebekan di sebuah kamp protes anti-pemerintah pada Jumat pagi, di tengah krisis ekonomi negara itu, di Kolombo, Sri Lanka 22 Juli 2022. REUTERS/Adnan Abidi
Presiden Wickremesinghe juga sudah mengabarkan pada para diplomat asing yang ada di negaranya bahwa pihaknya telah mengambil sejumlah kebijakan untuk memastikan kalau aksi protes tanpa kekerasan diperbolehkan, termasuk boleh juga dilakukan di Ibu Kota selama tidak merusak gedung atau mengancam nyawa.
Pembongkaran kemah-kemah demonstran anti-pemerintah pada Jumat, 22 Juli 2022, telah menuai kecaman dari PBB dan diplomat negara-negara Barat dan meminta Pemerintah Sri Lanka agar menahan diri. Sebab menggunakan kekerasan hanya membuat ketidak stabilan di Sri Lanka berlanjut, di mana negara ini sedang menderita karena krisis ekonomi terburuk dalam tujuh dekade.
Wickremesinghe menduduki kursi nomor satu di Sri Lanka setelah meraih kemenangan hasil pemungutan suara parlemen. Kursi Presiden Sri Lanka lowong setelah Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri sebagai Presiden dan memutuskan angkat kaki dari negaranya.
Kemunduran Rajapaksa dilakukan setelah unjuk rasa massal yang dipicu cara Rajapaksa yang salah dalam menangani perekonomian negara. Sebanyak 22 juta warga Sri Lanka menderita karena kekurangan bahan makanan, bahan bakar dan barang kebutuhan pokok lainnya karena negara kehabisan cadangan mata uang asing yang digunakan untuk mengimpor barang-barang kebutuhan pokok.
Sumber: Reuters
Baca juga: Militer Sri Lanka Bubarkan Kemah Demonstran Sehari setelah Wickremesinghe Berkuasa
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.