TEMPO.CO, Jakarta - Pasukan keamanan Sri Lanka membubarkan kemah demonstran yang menduduki kantor pemerintah di ibukota Kolombo, Jumat pagi, 21 Juli 2022, sehari setelah presiden baru Ranil Wickremesinghe dilantik.
Rekaman media menunjukkan tentara dengan perlengkapan anti-huru-hara dan bersenjata senapan serbu merobohkan tenda, yang didirikan April lalu oleh pengunjuk rasa memprotes keruntuhan ekonomi negara.
"Sebuah operasi gabungan yang melibatkan pasukan khusus militer dan polisi diluncurkan pada dini hari untuk mengambil alih sekretariat presiden dari para pengunjuk rasa yang tidak memiliki hak hukum," kata juru bicara polisi Nalin Thalduwa kepada Reuters.
"Sembilan orang, termasuk dua yang terluka, telah ditangkap."
Para pengunjuk rasa khawatir tindakan keras akan segera terjadi di bawah Presiden baru Ranil Wickremesinghe, yang dipandang sebagai sekutu pendahulunya Gotabaya Rajapaksa.
Penyelenggara protes mengatakan ratusan personel keamanan mengepung kamp protes "Gota Go Gama", yang dinamai menurut nama Rajapaksa, setelah tengah malam dan kemudian membongkar sebagian darinya.
Saat fajar menyingsing, puluhan pasukan berbaris melewati area dan barisan tenda protes yang berdiri di kedua sisi jalan utama depan kantor presiden benar-benar dikosongkan. Puluhan pengunjuk rasa berdiri, melihat barikade dan personel keamanan yang baru didirikan.
Sedikitnya 50 pengunjuk rasa terluka, kata penyelenggara, termasuk beberapa wartawan yang dipukuli oleh pasukan keamanan. Sumber rumah sakit mengatakan dua dirawat di rumah sakit.
"Mereka memukuli kami dengan sangat kejam," kata Buddhika Abeyrathne, 34 tahun, seorang pengunjuk rasa yang menyaksikan penggerebekan itu tetapi tidak tampak terluka. "Tuan Wickremesinghe tidak tahu apa itu demokrasi."
Sri Lanka berada dalam keadaan darurat sejak Senin. Peraturan darurat sebelumnya telah digunakan untuk memberikan kekuasaan kepada militer untuk menahan dan menangkap pengunjuk rasa, dan membatasi hak untuk protes.
Wickremesinghe, mantan perdana menteri, dilantik pada Kamis setelah memenangkan pemungutan suara parlemen minggu ini, menyusul pengunduran diri Rajapaksa yang melarikan diri ke Singapura di tengah protes publik besar-besaran dipicu oleh krisis ekonomi terburuk negara itu dalam tujuh dekade.
Sekutu Rajapaksa
Presiden diperkirakan akan menunjuk sekutu Rajapaksa, Dinesh Gunewardena sebagai perdana menteri dan membentuk kabinet baru pada Jumat ini.
Setelah mengepung kamp demonstran, petugas keamanan bergerak di depan sekretariat presiden, mulai membongkar beberapa tenda dan menyerang pengunjuk rasa, kata penyelenggara protes Manjula Samarasekara.
Pasukan keamanan tampaknya telah menguasai seluruh sekretariat, dengan lebih banyak personel terlihat di dalam perimeter gedung yang awal bulan ini diduki pengunjuk rasa, bersama dengan kediaman resmi presiden dan perdana menteri. Tempat tinggal itu kemudian diserahkan kembali kepada otoritas pemerintah.
Penyelenggara protes Chameera Dedduwage mengatakan kepada Reuters bahwa mereka telah merencanakan menyerahkan sekretariat presiden kepada otoritas pemerintah pada Jumat sore. Polisi mengatakan mereka tidak memiliki informasi tentang itu.
"Kekuatan berlebihan dan kekerasan yang digunakan untuk mengusir pengunjuk rasa adalah perbedaan nyata dari apa yang dibutuhkan Sri Lanka saat ini, terutama ketika para pengunjuk rasa telah mengatakan mereka akan mengosongkan tempat itu," kata Bhavani Fonseka, seorang peneliti seniorPusat Alternatif Kebijakan Kolombo.
Asosiasi Pengacara Sri Lanka mengatakan tindakan keras itu dapat mengganggu stabilitas negara, yang membutuhkan bantuan asing dan dana talangan dari Dana Moneter Internasional.
"Penggunaan angkatan bersenjata untuk menekan protes sipil pada hari pertama menjabat presiden baru adalah tercela dan akan memiliki konsekuensi serius pada stabilitas sosial, ekonomi dan politik negara kita," kata organisasi pengacara itu dalam sebuah pernyataan.
Diplomat AS dan Inggris juga menyatakan keprihatinan.
"Kami mendesak pihak berwenang menahan diri dan akses segera ke perawatan medis bagi mereka yang terluka," kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Sri Lanka, Julie Chung, di Twitter.