TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dalam lawatan Biden ke Timur Tengah pada Juli 2022. Kunjungan kerja Biden dilakukan di tengah tingginya harga minyak di Amerika Serikat dan melanggar janji kampanye Biden yang ingin menjadikan Kerajaan Arab Saudi sebagai pariah (terasing dari dunia internasional).
Beberapa pekan setelah menjabat sebagai orang nomor satu di Negeri Abang Sam, Biden mengubah kebijakan Amerika Serikat terhadap Arab Saudi. Biden bersikap tegas karena catatan HAM Kerajaan Arab Saudi, khususnya terkait pembunuhan wartawan Washington Post Jamal Khashoggi di Turki pada 2018 lalu.
Intelijen Amerika Serikat menuding adanya keterlibatan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dalam pembunuhan itu. Namun Pemerintah Arab Saudi menyangkalnya.
Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed Bin Salman. Reuters
Pada bulan ini, Gedung Putih menyakinkan pandangan Biden belum berubah. Pertemuan antara Putra Mahkota akan menjadi bagian dari kunjungan pertama Biden ke kawasan Timur Tengah.
Sejumlah penasehat bidang HAM melihat hal ini bertolak belakang dengan janji Biden untuk menempatkan HAM di jantungnya kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Biden akan melawat ke Timur Tengah mulai 13 Juli sampai 16 Juli 2022.
Dalam rangkaian lawatan kenegaraan tersebut, Biden juga akan singgah di Israel dan Tepi Barat, yang saat ini masih diduduki. Sumber di Pemerintah Amerika Serikat mengatakan Biden bertekad agar kepentingannya terlibat dengan para pemimpin dunia dan jika hal tersebut bisa membawa hasil, maka Biden akan melakukannya
Sumber itu menilai Putra Mahkota Mohammed bin Salman punya peran membantu memperluas gencatan senjata yang digagas PBB di antara pihak-pihak yang bersengketa di Yaman. Maka itu, Biden ingin menjalin hubungan Arab Saudi agar bisa menolong menciptakan perdamaian dan keamanan di kawasan
Jika tidak ada aral melintang, Biden akan ke Kerajaan Arab Saudi pada 15 Juli dan 16 Juli 2022 atau setelah KTT OPEC, yang dipimpin oleh Arab Saudi. OPEC sebelumnya sudah setuju untuk meningkatkan produksi minyak untuk menambal kehilangan produksi dari Rusia setelah Negeri Beruang Merah tersebut terkena sanksi-sanksi Barat karena invasinya ke Ukraina.
Sumber: Reuters
Baca juga: Tampil Perdana di Acara Jimmy Kimmel, Biden Bahas Senjata
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.