TEMPO.CO, Jakarta -Badan AIDS PBB menyebut beberapa pemberitaan tentang virus cacar monyet cenderung rasis dan homofobik. PBB memperingatkan, informasi itu memperburuk stigma dan merusak tanggapan terhadap wabah yang berkembang.
UNAIDS memahami jika sebagian besar kasus cacar monyet baru-baru ini telah diidentifikasi di antara pria gay, biseksual, dan pria lain yang berhubungan seks dengan pria. Tetapi, penularan kemungkinan besar melalui kontak fisik yang dekat dengan penderita cacar monyet dan dapat mempengaruhi siapa saja.
Beberapa penggambaran orang Afrika dan LGBTI dalam sejumlah pelaporan dinilai dapat memperkuat stereotip homofobik dan rasis, dengan memperburuk stigma.
"Stigma dan kesalahan merusak kepercayaan dan kapasitas untuk merespons secara efektif selama wabah seperti ini," kata Wakil Direktur Eksekutif UNAIDS Matthew Kavanagh, dikutip Hindustan Times pada Senin, 23 Mei 2022.
Kavanagh berpendapat retorika stigmatisasi sering kali dapat dengan cepat menonaktifkan respons berbasis bukti.
"Caranya dengan memicu siklus ketakutan, menjauhkan orang dari layanan kesehatan, menghambat upaya untuk mengidentifikasi kasus, dan mendorong tindakan hukuman yang tidak efektif," katanya.
Badan Kesehatan Dunia pada Sabtu, 21 Mei 2022, menerima laporan 92 kasus cacar monyet yang dikonfirmasi laboratorium dan 28 kasus yang dicurigai dari 12 negara, termasuk beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Sejauh ini, cacar monyet tidak digolongkan pada penyakit endemik di beberapa negara tersebut.
Gejala cacar monyet termasuk demam, nyeri otot, pembengkakan kelenjar getah bening, kedinginan, kelelahan, dan ruam seperti cacar air di tangan dan wajah.
Tidak ada pengobatan, tetapi gejalanya biasanya hilang setelah dua hingga empat minggu. Penyakit cacar monyet ini dianggap endemik di 11 negara Afrika.
Baca juga: Jerman dan Norwegia Mengkonfirmasi Temuan Kasus Cacar Monyet
SUMBER: HINDUSTAN TIMES