TEMPO.CO, Jakarta - Uskup Agung Desmond Tutu, peraih Nobel Perdamaian dan veteran perjuangan Afrika Selatan melawan kekuasaan minoritas kulit putih, meninggal pada Minggu dalam usia 90 tahun, kata kantor kepresidenan Afrika Selatan.
Pada 1984 Desmond Tutu memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian untuk perlawanannya tanpa kekerasan terhadap apartheid. Sepuluh tahun kemudian, dia menyaksikan berakhirnya rezim itu dan dia memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dibentuk untuk mengungkap kekejaman yang dilakukan selama hari-hari kelam itu.
Berjuang tanpa lelah sepanjang tahun 1980-an, Tutu menjadi wajah gerakan anti-apartheid di luar negeri sementara banyak pemimpin pemberontak Kongres Nasional Afrika (ANC), seperti Nelson Mandela, berada di balik jeruji besi.
Pada bulan Februari 1990, Tutu mendampingi Nelson Mandela ke balkon di Balai Kota Cape Town yang menghadap ke alun-alun tempat ANC membuat pidato publik pertamanya setelah 27 tahun di penjara.
Ketika Mandela memperkenalkan Afrika Selatan pada demokrasi, Tutu mengepalai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mengungkap kebenaran mengerikan tentang perang melawan pemerintahan kulit putih.
Beberapa kesaksian yang menyayat hati membuatnya menangis di depan umum.
Desmond Tutu, seorang pribadi yang blak-blakan, dianggap sebagai hati nurani bangsa oleh masyarakat kulit Hitam dan Putih, sebuah bukti abadi atas iman dan semangat rekonsiliasinya di negara yang terpecah.
Uskup Agung Desmond Tutu (tengah), Utusan PBB Liga Arab Suriah Lakhdar Brahimi (kanan), dan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan saat tiba di Stadion FNB di Afrika Selatan, (10/12). Kehadiran mereka di Afsel untuk ikut upacara peringatan Nelson Mandela. (AP Photo/SABC Pool)
Desmond Tutu didiagnosis menderita kanker prostat pada akhir 1990-an dan dalam beberapa tahun terakhir ia beberapa kali dirawat di rumah sakit untuk mengobati infeksi yang terkait dengan pengobatan kankernya.
"Meninggalnya Uskup Agung Emeritus Desmond Tutu adalah babak lain dari duka dalam perpisahan bangsa kita dengan generasi Afrika Selatan yang luar biasa yang telah mewariskan kepada kita Afrika Selatan yang dibebaskan," kata Presiden Cyril Ramaphosa, dikutip dari Reuters, 26 Desember 2021.
"Desmond Tutu adalah seorang patriot tanpa tandingan."
Kepresidenan Afrika Selatan tidak memberikan rincian tentang penyebab kematian.
Di panggung global, aktivis hak asasi manusia itu berbicara di berbagai topik, mulai dari pendudukan Israel di wilayah Palestina hingga hak-hak gay, perubahan iklim dan kematian yang dibantu.
Dia menggunakan posisi tingginya di Gereja Anglikan untuk menyoroti penderitaan orang kulit hitam Afrika Selatan.
Ditanya tentang pengunduran dirinya sebagai Uskup Agung Cape Town pada tahun 1996, Desmond Tutu berkata: "Perjuangan itu cenderung membuat seseorang menjadi kasar dan lebih dari sekadar merasa benar sendiri. Saya berharap orang-orang akan memaafkan saya setiap luka yang mungkin saya sebabkan terhadap mereka."
Desmond Tutu berkhotbah menentang tirani minoritas kulit putih dan bahkan setelah berakhir, dia tidak pernah goyah dalam perjuangannya untuk Afrika Selatan yang lebih adil, meminta elit politik kulit Hitam untuk bertanggung jawab dengan penuh semangat seperti halnya orang Afrika kulit putih.
Di tahun-tahun terakhirnya, dia menyesal bahwa mimpinya tentang "Bangsa Pelangi" belum terwujud.
"Akhirnya, pada usia 90, dia meninggal dengan tenang di Oasis Frail Care Center di Cape Town pagi ini," kata Dr Ramphhela Mamphele, penjabat ketua Uskup Agung Desmond Tutu IP Trust dan Koordinator Kantor Uskup Agung, menyampaikan pernyataan mewakili keluarga Desmond Tutu.
Baca juga: Nelson Mandela, 27 Tahun Berjuang Melawan Apartheid Tanpa Kekerasan
REUTERS