TEMPO.CO, Jakarta - Lebih dari 100 mantan pasukan keamanan nasional Afghanistan tewas sejak Taliban berkuasa Agustus 2021, sebagian besar di tangan kelompok Islam garis keras ini, demikian laporan Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Nada al-Nashif, Wakil Komisaris Tinggi HAM PBB, mengatakan bahwa selain tentara Afghanistan, setidaknya 50 tersangka anggota afiliasi lokal Negara Islam yang dikenal sebagai ISIS-Khorasan - musuh ideologis Taliban - tewas dengan cara digantung atau dipenggal.
Dalam pidatonya di Dewan Hak Asasi Manusia, dia mengatakan, pemerintahan Taliban ditandai dengan pembunuhan di luar proses hukum di seluruh negeri dan pembatasan hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan.
Keluarga menghadapi "kemiskinan dan kelaparan parah" musim dingin ini di tengah laporan pekerja anak, pernikahan dini dan "bahkan penjualan anak", kata al-Nashif, Selasa, 14 Desember 2021, seperti dikutip Reuters.
Setidaknya 72 dari lebih 100 dugaan pembunuhan telah dikaitkan dengan Taliban, katanya. "Dalam beberapa kasus, mayat-mayat itu ditampilkan di depan umum. Ini telah memperburuk ketakutan."
Dekrit Taliban awal bulan ini gagal untuk merujuk pada hak-hak perempuan dan anak perempuan untuk pendidikan, pekerjaan dan kebebasan bergerak mereka dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, kata al-Nashif.
Setidaknya delapan aktivis Afghanistan dan dua wartawan telah tewas sejak Agustus, sementara PBB juga telah mendokumentasikan 59 penahanan yang tidak sah.
"Keamanan para hakim, jaksa, dan pengacara Afghanistan - khususnya profesional hukum wanita - adalah masalah yang harus diwaspadai", katanya.
Utusan pemerintahan lama Afghanistan, Nasir Ahmad Andisha, menuduh Taliban melakukan berbagai pelanggaran termasuk pembunuhan yang ditargetkan dan penghilangan paksa.
"Dengan pengambilalihan militer atas Kabul oleh Taliban, tidak hanya kita melihat pembalikan total dari kemajuan dua dekade ... tetapi kelompok itu juga melakukan serangkaian pelanggaran dengan impunitas penuh yang dalam banyak kasus tidak dilaporkan dan tidak didokumentasikan," kata Andisha kepada forum tersebut.
Andisha, duta besar Kabul untuk PBB di Jenewa yang masih diakui oleh badan dunia itu, mengatakan bahwa "laporan yang dapat dipercaya telah memberikan kesaksian tentang pembersihan etnis dan suku di beberapa provinsi di negara itu".
Taliban belum berkomentar soal tudingan PBB ini, namun sebelumnya Menteri Luar Negeri Afghanistan Amir Khan Muttaqi mengaku Taliban berkomitmen untuk pendidikan dan pekerjaan bagi anak perempuan dan perempuan, perubahan yang nyata dari masa kekuasaan mereka sebelumnya, dan mencari "rahmat dan kasih sayang" dunia untuk membantu jutaan warga yang sangat membutuhkan.
Dalam wawancara dengan AP, yang dikutip NPR, 13 Desember 2021, ia mengatakan pemerintah Taliban menginginkan hubungan baik dengan semua negara dan tidak memiliki masalah dengan Amerika Serikat.
Dia mendesak Washington dan negara-negara lain melepaskan lebih dari $ 10 miliar dana yang dibekukan ketika Taliban mengambil alih kekuasaan 15 Agustus, menyusul serangan militer yang cepat di Afghanistan dan pelarian rahasia yang tiba-tiba dari Presiden Ashraf Ghani yang didukung AS.
"Sanksi terhadap Afghanistan tidak akan ... tidak ada manfaatnya," kata Muttaqi hari Minggu, berbicara dalam bahasa Pashto selama wawancara di gedung Kementerian Luar Negeri di jantung ibukota Afghanistan, Kabul.