TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Taliban telah merilis serangkaian pembatasan pada media Afghanistan, termasuk melarang drama televisi yang menyertakan aktor perempuan dan memerintahkan presenter berita perempuan untuk mengenakan jilbab.
Kementerian Kebaikan dan Kebajikan Afghanistan menetapkan sembilan aturan minggu ini, kata seorang juru bicara pemerintah Taliban pada Selasa. Aturan itu sebagian besar berpusat pada pelarangan media apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau budaya Afghanistan, menurut laporan Reuters, 24 November 2021.
Beberapa dekrit ditargetkan secara khusus pada perempuan, sebuah langkah yang kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat internasional.
"Drama-drama itu...atau program-program di mana perempuan telah berakting, tidak boleh ditayangkan," kata aturan itu, seraya menambahkan bahwa jurnalis perempuan yang siaran harus mengenakan "jilbab Islam", tanpa merinci maksudnya.
Meskipun sebagian besar perempuan di Afghanistan mengenakan jilbab di depan umum, pernyataan Taliban bahwa perempuan harus mengenakan "jilbab Islam" sering di masa lalu mengkhawatirkan aktivis hak-hak perempuan yang mengatakan istilah itu tidak jelas dan dapat ditafsirkan secara konservatif.
Aturan itu menuai kritik dari pengawas hak asasi internasional Human Rights Watch (HRW), yang mengatakan kebebasan media memburuk di negara itu.
"Hilangnya ruang untuk perbedaan pendapat dan semakin buruknya pembatasan bagi perempuan di media dan seni sangat menghancurkan," kata Patricia Gossman, direktur asosiasi Asia di HRW.
Meskipun para pejabat Taliban telah berusaha untuk meyakinkan secara terbuka perempuan dan masyarakat internasional bahwa hak-hak perempuan akan dilindungi sejak mereka mengambil alih Afghanistan pada 15 Agustus, banyak pendukung dan perempuan tetap skeptis.
Selama pemerintahan Taliban sebelumnya, perempuan Afghanistan dilarang keluar rumah kecuali ditemani oleh kerabat laki-laki, atau untuk menerima pendidikan.
Baca juga: Tak Ingin Mati Kelaparan, Penjualan Anak Perempuan Afghanistan Marak Demi Mahar
REUTERS