TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, menjadi figur kesekian yang menyebut Taliban pembohong. Dikutip dari kantor berita Reuters, Bachelet mengatakan Taliban tidak memenuhi janjinya soal menghormati hak-hak perempuan Afghanistan, mulai dari meninggalkan rumah dengan bebas, keterlibatan dalam aktivitas politik, serta kemudahan untuk menerima pendidikan.
Bachelet berkata, Afghanistan sekarang dalam kondisi yang berbahaya sejak milisi Taliban mengambil alih pemerintahan. Banyak perempuan dan komunitas etnis atau agama tertentu khawatir menjadi target persekusi.
"Kontradiktif dengan janji Taliban bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan, tiga pekan terakhir mereka malah mengesampingkan perempuan dari ruang publik," ujar Bachelet pada pertemuan Dewan HAM di Jenewa, Senin, 13 September 2021.
Bachelet juga mempermasalahkan komposisi pemerintahan Taliban yang tidak ada satupun figur perempuan. Menurutnya, hal itu akan menjadi preseden buruk. Sebagai catatan, Taliban menjadikan Afghanistan sebagai negara ke-13 teapa satupun pejabat perempuan di pemerintahannya.
"Mereka pun berbohong soal menjanjikan amnesti bagi pelayan publik atau aparat keamanan dari pemerintahan sebelumnya dengan melakukan penggeledahan rumah ke rumah."
"Kami di PBB sudah menerima beberapa laporan soal penggeledahan rumah unntuk mereka yang pernah bekerja untuk perusahaan Amerika dan militer pemerintahan sebelumnya. Staf PBB juga melaporkan ancaman yang meningkat," ujar Bachelet menegaskan.
Perempuan Afghanistan berjalan di sebuah masjid di Herat, Afghanistan, 10 September 2021.[WANA (West Asia News Agency) via REUTERS]
Bachelet mengusulkan adanya mekanisme monitor di Afghanistan untuk memastikan Taliban memenuhi janji-janjinya. Selain itu, ia juga mendesak adanya upaya tegas dari Dewan HAM PBB.
Sebelum Bachelet, Pemerintah Prancis lebih dulu menyebut Taliban pembohong karena tak menepati janji-janjinya. Bahkan, Prancis memutuskan untuk tidak mengakui pemerintahan baru Afghanistan yang dibentuk oleh Taliban.
"Prancis menolak untuk mengakui atau membangun hubungan apapun dengan pemerintahan baru ini. Kami menginginkan aksi dari Taliban dan mereka yang membutuhkan bantuan ekonomi serta hubungan internasional," ujar Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, soal situasi Taliban di Afghanistan Sabtu pekan lalu.
Taliban mengklaim sudah mengizinkan perempuan untuk melanjutkan studinya di kampus-kampus. Namun, Taliban menetapkan bahwa pemisahan gender harus diterapkan, pakaian sesuai syariat Islam harus dipakai, dan pelajar perempuan hanya boleh diajar oleh pengajar perempuan. Jika pengajar perempuan tak ada, Taliban baru akan memperbolehkan pengajar pria bertugas.
Sementara itu, menurut laporan Reuters, Taliban di beberapa wilayah di Afghanistan telah membatasi akses perempuan dengan usia di atas 12 tahun ke pendidikan. Bahkan, Taliban melarang mereka untuk keluar dari rumah.
Baca juga: Dibohongi Taliban, Prancis Ogah Akui Pemerintahan Baru Afghanistan
ISTMAN MP | REUTERS