TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan Amerika Serikat mengancam untuk memotong separuh kenaikan gaji karyawannya yang enggan disuntik vaksin Covid-19.
Salah satu perusahaan AS yang mendorong vaksinasi dengan cara ini adalah Emerald Packaging. Pada 1 September, ketika kenaikan gaji rutin dilakukan untuk 250 pekerja di pabrik kantong plastik Emerald Packaging Inc di luar San Francisco, mereka yang divaksinasi penuh akan mendapatkan kenaikan 3%, sementara mereka yang menolak vaksinasi hanya akan mendapatkan setengahnya, 1,5% .
"Dengan varian Delta yang menyebar dengan cepat dan kemungkinan akan menyerang orang yang tidak divaksinasi di sini, dan dengan demikian membuat semua orang berisiko sakit, kemungkinan ini adalah kesempatan terbaik saya untuk membuat orang disuntik," kata Kelly, CEO Emerald Packaging, yang merupakan perusahaan manufaktur milik keluarga, dikutip dari Reuters, 24 Juli 2021.
Kelly berencana memberi tahu para pekerja pada 1 Agustus, untuk memberi mereka waktu untuk divaksinasi jika mereka menginginkan kenaikan gaji yang lebih besar.
Kampanye vaksinasi nasional yang dipelopori oleh pemerintahan Joe Biden mencapai puncaknya pada 3,3 juta dosis per hari pada pertengahan April, tetapi melambat dengan kecepatan harian lebih dari 500.000 sejak liburan Hari Kemerdekaan AS 'Fourth of July'. Pada kecepatan saat ini, sebagian besar model menunjukkan negara tersebut tidak akan mencapai ambang batas terendah untuk kekebalan kelompok atau sekitar 70%, hingga akhir tahun ini.
Sekarang, dengan upaya pemerintah yang terhenti, perusahaan seperti Kelly telah mengambil tugas untuk membujuk pekerja yang enggan untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
Tidak seperti sebagian besar sektor jasa, yang dapat membuat banyak pekerja tetap berada jauh dalam menghadapi gelombang virus baru, produsen dan banyak bisnis garis depan lainnya tidak memiliki pilihan itu, sehingga beberapa perusahaan berpikir kreatif mendorong orang untuk bersedia disuntik vaksin Covid-19.
Baca juga: Gedung Putih: Facebook dan Youtube Bersalah atas Misinformasi Vaksin Covid-19
REUTERS