TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia memperingatkan ekonomi Myanmar bisa merosot sampai 10 persen tahun ini karena kekacauan sejak kudeta militer bulan lalu.
Bank Dunia (World Bank) pada Jumat memangkas perkiraannya untuk ekonomi Myanmar menjadi kontraksi 10% pada tahun 2021 dari pertumbuhan yang diharapkan sebelumnya, menurut laporan Reuters, 26 Maret 2021.
"Myanmar sangat terpengaruh oleh protes, pemogokan pekerja, dan tindakan militer; pengurangan mobilitas; dan gangguan yang sedang berlangsung terhadap layanan publik penting selain perbankan, logistik, dan layanan internet," kata Bank Dunia.
Departemen Keuangan AS telah mengumumkan sanksi baru yang menargetkan Myanma Economic Holdings Public Company Limited dan Myanmar Economic Corporation Limited.
Keduanya adalah bagian dari jaringan konglomerasi yang dikendalikan militer Myanmar yang mencakup sektor-sektor mulai dari pertambangan hingga pariwisata dan telah memperkaya para jenderal. Perwakilan dari kedua entitas tersebut belum memberikan komentar.
Para pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan petugas keamanan di tengah aksi protes anti-kudeta di Hlaing Township di Yangon, Myanmar, 17 Maret 2021. REUTERS/Stringer
Dalam langkah yang dikoordinasikan dengan Amerika Serikat, mantan kolonial Myanmar, Inggris, mengatakan akan menargetkan Myanmar Economic Holdings Ltd, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil dan hubungannya dengan tokoh militer senior.
Baca juga: Inggris Jatuhkan Sanksi Terhadap Konglomerat Milik Militer Myanmar
Sekelompok mantan legislator NLD menyambut baik langkah tersebut. Dr Sasa, seorang dokter medis dan telah menjadi juru bicara legislator NLD, mengatakan di Facebook bahwa semua pemerintah lain harus mengikuti langkah Inggris dan Amerika Serikat untuk bekerja sama dan memberlakukan sanksi yang ditargetkan, lebih kuat dan lebih keras terhadap rezim militer tidak sah.
Uni Eropa mengumumkan sanksi pada 11 individu Myanmar pada hari Senin dan diharapkan menargetkan konglomerat segera.
Tetapi meskipun banyak pemerintah asing mengutuk tindakan junta militer, Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan tanggapan diplomatik lambat dan menyerukan KTT darurat untuk krisis di Myanmar.
REUTERS