TEMPO.CO, Jakarta - Menteri-menteri luar negeri Uni Eropa telah menugaskan diplomat-diplomatnya untuk mulai menyusun rancangan sanksi bai pelaku kudeta Myanmar. Hal tersebut merespon tewasnya dua demonstran yang tewas dalam unjuk rasa menentang kudeta Myanmar di Mandalay pekan lalu.
"Uni Eropa mendesak de-eskalasi sesegera mungkin atas situasi krisis yang terjadi dengan mengakhiri status darurat nasional, mengembalikan pemerintahan yang sah, dan mengaktifkan Parlemen yang baru," ujar para menteri luar negeri Eropa dalam pernyataan bersama, Senin, 22 Februari 2021.
Para menteri-menteri tersebut melanjutkan, Uni Eropa siap mengadopsi penindakan yang tegas dan menyasar langsung mereka yang bertanggung jawab atas kudeta Myanmar. Segala opsi yang ada, kata mereka, akan dikaji untuk menentukan langkah terbaiik.
Sebelum Uni Eropa, sudah ada beberapa negara yang lebih dulu menerapkan sanksi kepada Myanmar. Salah satunya adalah Inggris. Pada Kamis pekan lalu, Inggris memberikan sanksi ekonomi dan personal kepada tiga figur jenderal di Militer Myamar.
Ketiga jenderal yang dikenai sanksi oleh Inggris adalah Menteri Pertahanan Mya Tun Oo, Menteri Dalam Negeri Soe Htut, dan Deputi Menteri Dalam Negeri Than Hlaing. Sanksi dari Inggris menyebabkan mereka tidak bisa berkunjung ke Inggris, tidak bisa bertransaksi dengan perusahaan Inggris, serta tidak mengakses aset ke Inggris.
Biksu berdiri dekat kendaraan militer lapis baja sambil memegang poster saat protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Myanmar, 15 Februari 2021. Kendaraan lapis baja muncul di Yangon, Myitkyin, dan Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine. REUTERS/Stringer
Selain Inggris, juga ada Amerika. Amerika menerapkan sanksi yang sama di mana menekankan pemblokiran akses terhadap aset di Amerika. Menurut laporan Reuters, para jenderal Militer Myanmar memiliki aset senilai US$1 miliar di Amerika.
Per berita ini ditulis, kudeta di Myanmar sudah berjalan selama hampir sebulan. Selama itu, berbagai peristiwa telah terjadi mulai dari penangkapan Penasehat Negara Aung San Suu Kyi, penerapan status darurat nasional, hingga unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota.
Hampir tiap hari ada unjuk rasa di Myanmar walaupun junta militer sudah memperingatkan mereka yang mengatasnamakan Gerakan Pemberontakan Sipil. Alhasil, berbagai penangkapan terhadap aktivis dilakukan. Total, menurut data Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik, ada 500 lebih orang yang telah ditangkap dan ditahan.
Ahad kemarin, Militer Myanmar kembali memberikan peringatan. Mereka berkata, jika perlawanan terhadap junta militer masih berlanjut, maka tak tertutup kemungkinan bakal ada yang jadi korban lagi. Sejauh ini, sudah ada tiga orang tewas selama kudeta Myanmar berlangsung.
"Kami mendapati para pengunjuk rasa telah meningkatkan perlawanannya dengan memicu kerusuhan. Demonstran sekarang memprovokasi warga, terutama remaja labil, untuk mengambil jalur konfrontatif yang bisa berujung pada munculnya korban," ujar Dewan Administrasi Negara, nama yang dipakai junta militer Myanmar.
Baca juga: Indonesia Dorong ASEAN untuk Desak Junta Militer Gelar Pemilu Myanmar yang Adil
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA | CNN