TEMPO.CO, Jakarta - Situasi di Myanmar belum membaik. Junta militer Myanmar memperkuat tekanannya dengan menerjunkan personil militer ke berbagai kota besar. Warga, di sisi lain, terus melanjutkan perlawanananya dengan menggelar unjuk rasa baru tiap harinya. Kedua unsur itu membuat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) khawatir skenario terburuk, kerusuhan, bisa terjadi.
"Saya jujur ketakutan akan potensi kerusuhan jiga rencana unjuk rasa masyarakat dan personil militer yang diterjunkan Myanmar berpapasan," ujar reporter hak asasi manusia untuk PBB, Tom Andrews, dikutip dari CNN, Rabu, 17 Februari 2021.
Rabu ini, unjuk rasa warga Myanmar memang tidak kalah besar dibanding sebelum-sebelumnya. Berwujud konvoi bersama di kawasan Sule Pagoda, Yangon, berbagai komunitas bergabung dalam unjuk rasa tersebut. Beberapa di antaranya adalah buruh pabrik, dokter, guru, biksu, dan juga LGBTQ.
Dalam konvoi tersebut, mereka membawa spanduk raksasa yang bertuliskan "Bebaskan Pemimpin Kami!" serta "Bergabunglah ke Gerakan Pemberontakan Sipil". Di sisi lain kota Yangon, beberapa demonstran memblokir jalan dan jembatan dengan mobil, berharap aksi mereka tidak diganggu oleh aparat junta militer.
Tom Andrews berkata, situasi itulah yang membuat ia khawatir. Dengan semakin besarnya unjuk rasa di Myanmar, kata ia, makin besar pula kemungkinan junta militer akan meresponnya dengan kekerasan. Apalagi, hal itu sudah dilakukan beberapa hari lalu di mana salah satu demonstran berakhir kritis akibat luka tembak di kepala.
Info yang Andrews dengar, junta militer Myanmar telah memerintahkan pasukannya di kota lain untuk dipindahkan ke Yangon. Berkaca pada pengalaman di masa lalu, pergerakan militer seperti itu berujung pada pembunuhan, penculikan, dan penangkapan dalam skala besar.
"Kita mungkin dalam situasi di mana militer Myanmar bisa melakukan kejahatan yang lebih buruk terhadap warga," ujarnya.
Menurut laporan Channel News Asia, personil Divisi Infrantri Myanmar (LID) sudah terpantau di kota Yangon. Bergerak di bawah kendali Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing, LID dikenal sebagai satuan anti huru-hara dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa kejahatan mereka mulai dari aksi kekerasan terhadap etnis minoritas hingga penanganan unjuk rasa secara brutal.
Hal yang membuat LID makin berbahaya adalah bagaimana mereka dilatih. Walau dijadikan sebagai satuan respon cepat huru-hara, mereka dilatih untuk pertarungan di hutan dan pegunungan yang ganas. Sekarang, mereka berada di wilayah perkotaan.
"Mereka ini yang perlu dikhawatirkan. Mereka bisa sangat cepat diterjunkan ke perkotaan. Mereka adalah kekuatan yang diterjunkan ketika unit-unit lain tak lagi bisa mengendalikan situasi," ujar peneliti Human Rights Watch untuk krisis dan konflik Richard Weir.
Per berita ini ditulis, ada 200 lebih orang yang telah ditangkap dan ditahan oleh junta militer Myanmar. Beberapa di antaranya adalah Penasehat Negara Aung San Suu Kyi serta Presiden Win Myint. Aung San Suu Kyi bahkan sudah dua kali ditetapkan sebagai tersangka, untuk kasus impor ilegal dan pelanggaran aturan bencana alam.
Penangkapan mereka adalah imbas dari tidak terimanya militer Myanmar atas hasil pemilu tahun lalu. Mereka menganggap partai pemenang, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), bermain curang. Hal itu membuat mereka menyakini pemerintahan Myanmar saat ini tidak sah dan pantas digulingkan. Adapun mereka ogah dikatakan melakukan kudeta karena klaimnya untuk mencari pimpinan yang sah untuk Myanmar.
Baca juga: Ditekan Demonstran dan Amerika, Militer Myanmar Melawan
ISTMAN MP | CNN