TEMPO.CO, Jakarta - Rendahnya gaji pegawai negeri sipil atau PNS Venezuela membuat kantor layanan publik sepi dan tidak berfungsi.
Kantor pajak Venezuela tampak sepi, ruang kelas kekurangan guru, dan tagihan listrik tidak tertagih, karena ratusan ribu pegawai negeri Venezuela bolos kerja dan mengundurkan diri.
Di metro Caracas, transportasi umum utama di ibu kota, banyak karyawan meliburkan diri dan tidak pernah kembali, kata seorang pensiunan berusia 57 tahun yang baru keluar setelah bekerja tiga puluh tahun, seperti dilaporkan Reuters, 16 Desember 2020.
Metro, tempat Presiden Nicolas Maduro pernah bekerja sebagai sopir bus dan pemimpin serikat pekerja, membayar karyawan dengan mata uang bolivar lokal yang setara dengan sekitar US$ 10 (Rp 141 ribu) per bulan.
Orang-orang menunggu transportasi umum di luar stasiun metro selama pemadaman litsrik di Caracas, Venezuela, 22 Juli 2020.[REUTERS]
Salah satu manajer perusahaan listrik Caracas yang dikelola negara, juga dinasionalisasi pada tahun 2007, mengatakan dia hanya pergi ke kantornya seminggu sekali, sambil menjalankan taksi di tempat di mana hanya beberapa perjalanan dapat memberinya US$ 4 (Rp 57 ribu) per bulan.
Mereka yang datang untuk bekerja sering kali harus membayar sendiri suku cadang untuk memperbaiki kerusakan, kata Angel Navas, seorang pejabat serikat pekerja di perusahaan yang sama.
Perusahaan pajak negara, kantor pos, industri berat, komunikasi dan listrik tidak memberikan tanggapan atas krisis pegawai ini, begitu pula dengan Kementerian Informasi.
Pemungutan suara parlemen awal bulan ini menunjukkan berkurangnya kapasitas pemerintah untuk menekan pejabat publik agar mendukung sekutu Maduro.
Jumlah pemilih rendah bahkan di wilayah pro-pemerintah dan Partai Sosialis yang berkuasa memenangkan lebih sedikit suara daripada dalam pemilihan sebelumnya.
Romulo Munoz, yang telah bekerja selama 15 tahun di pabrik peleburan aluminium negara bagian Venalum di kota selatan Puerto Ordaz, memilih golput untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade. Dengan gaji sekitar US$ 10 per bulan, dia bergantung pada sekotak makanan yang dibagikan oleh pemerintah setiap bulan di bawah program subsidi yang dikenal sebagai CLAP.
"Saya tidak mencoblos, karena saya ingin mempercepat proses pemerintahan baru yang akan datang," katanya. "Jika itu terjadi, pekerja akan mendapatkan keuntungan dan kami tidak membutuhkan kotak CLAP untuk bertahan hidup."
Guru di sekolah negeri jarang bekerja lebih dari 20 jam per minggu, menurut pemimpin serikat.
Guru pendidikan jasmani Victor Carrillo telah mengajar selama 20 tahun tetapi harus melakukan pekerjaan sampingan memperbaiki blok apartemen tempat tinggalnya untuk menutupi kebutuhan pokok. Bulan lalu, dia ikut berunjuk rasa.
Prajurit dibayar paling tinggi, yakni sekitar US$ 17 (Rp 240 ribu) per bulan. Salah satu catatan gaji universitas negeri menunjukkan gaji Ninfa Baron, seorang profesor IT penuh waktu, yang biasanya berpenghasilan tinggi di sana, kini hanya menerima gaji US$ 10 (Rp 141 ribu) sebulan. Dia bertahan dengan pekerjaan konsultasi jarak jauh untuk sebuah perusahaan di Paraguay.
Pekerja kesehatan memprotes upah rendah di Caracas, Venezuela, 29 Oktober 2020. Gambar diambil 29 Oktober 2020. [REUTERS / Adriana Loureiro]
Balai-balai badan pajak Seniat, yang secara agresif memberlakukan pengumpulan pajak di bawah pimpinan sosialis almarhum Hugo Chavez, hampir setiap hari sepi, menurut para pekerja.
Pejabat Seniat yang mengorganisir inspeksi mendadak perusahaan dapat membawa pulang sebanyak US$ 700 (Rp 9,8 juta) per bulan pada tahun 2012, menurut dua pekerja. Sejak itu, badan pajak telah kehilangan separuh karyawannya dan sekarang hanya memperoleh gaji sekitar US$ 13 (Rp 184 ribu) per bulan.
"Dulu ada 20 pejabat di satu kantor, sekarang jadi dua," kata seorang pemeriksa pajak senior.
Masalah ini telah membuat pemerintah berjuang untuk pendapatan pajak di tengah penurunan produksi minyak dan sanksi AS yang memblokir ekspor minyak mentah Venezuela.
Beberapa pejabat publik meninggalkan Venezeuela, sementara yang lain pergi begitu saja. Maria Boyer berhenti dari pekerjaannya di kantor pos milik pemerintah dan sekarang membuat manisan kelapa yang dia jual seharga US$ 1 (Rp 14.133).
"Suatu hari saya sedang makan siang di kantor: pasta tawar, tanpa keju, dan saya berhenti," kata Boyer, saat mengantar pesanan, menceritakan kondisi saat dia bekerja di kantor pos.
"Aku tidak bisa hidup seperti itu," katanya.
Mengukur eksodus pegawai negeri sipil sulit karena banyak yang berhenti bekerja tanpa mengundurkan diri dan lembaga negara tahun ini tidak lagi menghukum ketidakhadiran. Banyak yang tidak masuk kerja dan tidak ada sanksi.
2,8 juta pegawai pemerintah yang tersisa di negara itu rata-rata menghasilkan US$ 13 (Rp 184 ribu) per bulan, kurang dari setengah pendapatan pekerja sektor swasta, menurut perusahaan riset lokal Anova.
Anova dan dua konsultan lainnya memperkirakan setidaknya 500.000 pegawai negeri telah mengundurkan diri pada tahun lalu.
Anova menghitung setidaknya 25% pegawai negeri bertahan dengan upah minimum. Upah ini turun di bawah US$ 1 (Rp 14.133) per bulan, yang hanya bisa membeli 1 kg beras atau tepung jagung, untuk sebagian tahun ini di tengah inflasi tahunan sebesar 4.087%.
Venezuela telah mengalami 544 protes buruh tahun ini, menurut Observatorium Venezuela untuk Konflik Sosial, yang sebagian besar dipimpin oleh pegawai negeri.
Maduro, yang menjabat sejak 2013, mengatakan masalah ekonomi Venezuela disebabkan oleh sanksi AS, tetapi mengakui gaji rendah pegawai negeri adalah masalah. "Ini adalah luka terbuka dan membusuk yang akan kami sembuhkan," katanya baru-baru ini.
Pemerintah telah menaikkan upah bolivar berulang kali, tetapi Venezuela tidak dapat mengimbangi hiperinflasi.
Sumber:
https://www.reuters.com/article/venezuela-wages-insight/empty-desks-litter-venezuelan-state-offices-in-low-pay-exodus-idUSKBN28Q1LM?il=0