TEMPO.CO, Jakarta - Para guru Venezuela terpaksa melepas profesinya dan mencari pekerjaan lain karena gaji tak mencukupi. Banyak guru yang tidak mengajar ketika tahun ajaran kembali dibuka, atau mengungsi ke negara tetangga untuk penghidupan lebih baik.
Krisis ekonomi enam tahun yang menghancurkan Venezuela melemahkan sistem sekolah, yang pernah menjadi kebanggaan negara kaya minyak dan selama beberapa dekade. Pendidikan adalah salah satu penggerak utama Venezuela di antara negara Amerika Latin lain.
Sekolah-sekolah ini di masa lalu memberikan anak-anak bahkan di daerah-daerah terpencil, peluang masuk ke universitas terbaik Venezuela, yang pada gilirannya membuka pintu ke sekolah-sekolah top Amerika dan tempat di antara elit Venezuela.
Pemerintah berhenti menerbitkan statistik pendidikan pada tahun 2014. Tetapi kunjungan ke lebih dari selusin sekolah di lima negara bagian Venezuela dan wawancara dengan lusinan guru dan orang tua menunjukkan bahwa jumlah siswa dan guru telah menurun drastis tahun ini, mennurut laporan New York Times, dikutip 1 Desember 2019.
Siswi SMP Venezuela selama pelajaran.[Adriana Loureiro Fernandez/The New York Times]
Banyak sekolah tutup di negara yang dulunya kaya ini karena anak-anak dan guru yang kekurangan gizi yang hampir tidak menghasilkan apa-apa, meninggalkan ruang kelas untuk mencari nafkah di jalanan atau melarikan diri ke luar negeri.
Bahkan pemandangan siswa pingsan saat sekolah adalah hal biasa. "Anda tidak dapat mendidik orang-orang kurus dan lapar," kata Maira Marín, seorang guru dan pemimpin serikat pekerja di Boca de Uchire, sebuah desa di Venezuela.
Ribuan dari 550.000 guru Venezuela tidak muncul di kelas ketika sekolah dibuka kembali pada bulan September, menurut serikat guru nasional, dan lebih memilih melepas gaji US$ 8 atau Rp 112 ribu lebih per bulan mereka untuk mencoba peruntungan di luar negeri atau di tambang emas ilegal Venezuela.
Di negara bagian Zulia yang berpenduduk terpadat di Venezuela, hingga 60 persen dari sekitar 65.000 guru telah meninggalkan sekolah dalam beberapa tahun terakhir, menurut perkiraan oleh Alexander Castro, kepala serikat guru setempat.
"Mereka memberi tahu kami bahwa mereka lebih suka mengecat kuku untuk beberapa dolar daripada bekerja dengan upah minimum (sebagai guru)," kata Castro.
Agar sekolah tetap berjalan, guru yang tersisa sering mengajar semua mata pelajaran atau menggabungkan tahun sekolah yang berbeda dalam satu ruang kelas. Hampir puluhan sekolah telah mengurangi jam pelajaran, bahkan beberapa hanya dibuka untuk satu atau dua hari seminggu.
Sekolah terbesar Maracaibo tidak lagi memiliki kamar mandi yang berfungsi. Sekolah itu dirancang untuk 3.000 siswa, dan kini hanya 100 yang muncul.
Setengah dari guru tidak kembali bekerja setelah liburan musim panas ke sebuah sekolah di kota Santa Barbara di luar ibu kota Caracas, memaksa kepala sekolah untuk meminta sukarelawan orang tua agar kelas tetap berjalan.
Di sisi lain ibu kota, di kota Rio Chico, sebagian besar kelas di sekolah setempat kosong karena kurangnya siswa dan guru. Ketika murid yang tersisa tiba, mereka pertama-tama menanyakan keberadaan dapur sekolah, kata para guru.
Untuk meningkatkan tenaga guru, pada Agustus Maduro berjanji untuk mengirim ribuan anggota pemuda partai yang berkuasa ke ruang kelas. Para pakar pendidikan mengatakan beberapa dari aktivis yang tidak terlatih ini akan menambah nilai pedagogis.
Pada saat yang sama, guru tersertifikasi Venezuela semakin surut. Jumlah lulusan di pusat pelatihan guru utama Venezuela, Libertador Experimental Pedagogical University, turun 70 persen dari 2014 hingga 2018.
Guru-guru Venezuela termasuk di antara yang paling parah terkena dampak keruntuhan ekonomi negara itu, karena produk domestik bruto menyusut dua pertiga sejak 2013 dan upah minimum turun menjadi US$ 8 sebulan atau Rp 112 ribu.
Dolarisasi ekonomi de facto Maduro tahun ini memungkinkan banyak pegawai negeri di Venezuela untuk menambah gaji resmi mereka dalam mata uang lokal yang hampir tidak berharga, dengan mengenakan biaya dolar untuk pengabdian mereka.
Namun, liberalisasi setengah hati Maduro atas ekonomi Venezuela yang dikendalikan pusat, membawa sedikit manfaat bagi guru-guru Venezuela di sekolah daerah miskin, yang keluarga muridnya memiliki sedikit akses ke mata uang asing.