TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Hong Kong mendiskualifikasi empat anggota parlemen oposisi karena alasan "mengancam keamanan nasional". Keputusan itu diambil tak lama setelah parlemen mengesahkan resolusi yang memperbolehkan pemerintah pusat menindak politisi yang pro demokrasi dan berkolusi dengan asing. Keempat orang yang didiskualifikasi adalah Kwok Ka-ki, Alvin Yeung, Dennis Kwok, dan Kenneth Leung
Dengan diambilnya keputusan itu, maka demokrasi bisa dikatakan kian hilang di Hong Kong. Sebelumnya, kebebasan berpendapat warga yang dibatasi lebih dulu dengan diberlakukannya UU Keamanan Nasional Hong Kong. Sekarang, kebebasan berpendapat politisi ikut dibatasi apabila tidak pro Beijing.
"Misi saya sebagai legislator untuk memperjuangkan demokrasi dan kemerdekaan tidak bisa berlanjut. Namun, saya akan terus berjuang apabila rakyat Hon Kong juga terus berjuang memperjuangkan nilai-nilai dasar negeri ini," ujar salah satu anggota parlemen yang didiskualifikasi, Kwok Ka-ki, dikutip dari Reuters, Rabu, 11 November 2020.
Merespon diskualifikasi yang ada, anggota Parlemen Hong Kong pro demokrasi lainnya mengancam akan mundur dari jabatan mereka. Menurut mereka, percuma bertahan apabila diri mereka diberangus dan dianggap tidak tulus membela Hong Kong hanya karena pro demokrasi.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, mengenakan masker wajah untuk mencegah wabah penyakit virus corona (Covid-19), saat menghadiri konferensi pers di Hong Kong, Cina, 31 Juli 2020. [REUTERS / Lam Yik]
Kepala Pemerintahan Hong Kong, Carrie Lam, membantah bahwa pemerintahannya telah memberangus kebebasan berpendapat. Ia membela diri dengan mengatakan keputusan diskualifikasi empat anggota parlemen tersebut sungguh beralasan. Jika keempatnya tidak mengancam keamanan nasional, kata Carrie Lam, maka pemerintahannya tidak akan mengambil tindakan apapun.
"Kami tidak bisa membiarkan anggota Parlemen, yang secara hukum dinyatakan tidak mampu menjalankan tugasnya, untuk tetap bertahan di Parlemen Hong Kong," ujar Carrie Lam. Ia juga mengklaim bahwa pemerintahannya terbuka akan berbagai pendapat, baik pro-Beijing maupun pro-demokasi.
Kantor Perwakilan Cina di Hong Kong menyatakan hal senada. Mereka bahkan menambahkan bahwa Hong Kong tidak bisa dipimpin oleh mereka yang bukan loyalis Beijing. "Hukum politis bahwa Hong Kong harus diperintah oleh Patriot (Beijing) itu harus dijaga," ujar mereka.
Ekspresi Joe Biden saat menemui pendukungnya usai menyaksikan hasil Pemilu AS yang diumumkan media, di Wilmington, Delaware, AS, 7 November 2020. Politikus Partai Demokrat, Joe Biden, akhirnya dinyatakan sebagai pemenang Pemilu AS 2020. Dengan kemenangan tersebut, ia akan menjadi presiden ke-46 AS. Andrew Harnik/Pool via REUTERS
Jika para anggota parlemen itu jadi mundur, maka perjuangan pro-demokrasi di Hong Kong otomatis menjadi kian berat. Di sisi lain, hal itu juga akan membuat situasi di Hong Kong kian disorot mengingat tidak sedikit politisi dan aktivis yang ditangkap atau dipersekusi karena pro demokrasi. Salah satunya terjadi awal November lalu di mana tujuh politisi ditangkap karena dianggap membuat gaduh di rapat Parlemen Hong Kong pada Mei 2020.
Presiden Amerika Terpilih, Joe Biden, termasuk yang memasukkan situasi Hong Kong dalam bidikannya. Di masa pemilu, ia menyatakan bahwa Cina memiliki masalah dalam hal hak asasi manusia, terutama soal kebebasan berpendapat. Hal itu, menurut Joe Biden, terlihat dalam situasi di Hong Kong yang kian hari kian otoriter.
Juli lalu, Joe Biden berjanji akan memberikan sanksi ekonomi kepada Cina apabila tidak mengamandemen regulasi tersebut.
"Regulasi Keamanan Nasional Hong Kong dari Beijing - yang dibuat diam-diam dan disetujui dengan cepat - menjadi pukulan telak ke kemerdekaan dan otonomi Hong Kong," ujar Joe Biden, sebagaimana dikutip dari Reuters, Juli lalu.
ISTMAN MP | REUTERS