TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, menuding Turki mencoba memanas-manasi situasi di Nagorno-Karabakh. Hal tersebut menyusul perdebatan antara Turki dan Armenia soal siapa yang lebih dulu memicu krisis dan siapa yang berhak atas Nagorno-Karabakh. Turki menganggap Armenia yang bertanggung jawab dan meminta mereka segera angkat kaki.
Menurut Pashinyan, pandangan Turki tersebut adalah gambaran bahwa mereka ingin memperluas pengaruhnya di Eurasia, terutama di Kaukasus Selatan yang dilalui jalur pipa gas internasional. Problemnya, kata Pashinyan, ada Nagorno-Karabakh dan etnis Armenia di sana.
"Problemnya, masih ada Armenia di Kaukasus Selatan yang bisa menjadi penghalang dalam kebijakan ekspansi mereka," ujar Pashinyan pada Selasa kemarin, sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters.
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglo, membantah pernyataan Armenia. Ia berkata, Turki tidak mencoba memanas-manasi situasi di Nagono-Karabakah, malah mendukung ada gencatan senjata di sana.
Meski mendukung gencatan senjata, kata Cavusoglu, hal itu tidak mengubah pandangan Turki soal status Nagorno-Karabakh. Cavusoglu berkata, Turki masing memandang Nagorno-Karabakh sebagai bagian dari Azeribaijan, sekutunya.
"Gencatan senjata adalah langkah yang masuk akal. Namun, komunitas internasional sebaiknya membujuk Armenia untuk menarik diri dari wilayah Azerbaijan (Nagorno-Karabakh). Sayangnya, langkah itu tidak ada," ujar Cavusoglu.
Secara terpisah, Capres Amerika Joe Biden menyayangkan situasi di Nagorno-Karabakh yang tak kunjung membaik. Ia mendesak Presiden Amerika Donald Trump untuk lebih aktif mencegah pertempuran di sana. Apalagi, situasi makin panas dan mulai melibatkan negara-negara lain.
"Dibanding mendelegasikan diplomasi ke Moskow (Rusia), administrasi (Donald Trump) sebaik terlibat (upaya gencatan senjata) dalam level tertinggi," ujar Biden.
Secara hukum internasional, Nagorno-Karabakh adalah bagian dari Azerbaijan. Namun, sejak bubarnya Uni Soviet, etnis Armenia menghuni Nagorno-Karabakh, bahkan membentuk pemerintahannya sendiri di sana.
Selama bertahun-tahun, Armenia dan Azerbaijan saling serang perihal siapa yang berhak 'memiliki' Nagorno-Karabakh. Salah satu peristiwa terburuknya terjadi pada periode 1991-1994, setelah Uni Soviet bubar. Dalam pertempuran di periode itu, 30 ribu orang menjadi korban. Dalam konflik saat ini, 500 lebih orang menjadi korban.
ISTMAN MP | REUTERS