TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Tunisia menolak sebuah petisi yang meminta agar kelompok Ikhwanul Muslimin dimasukkan ke dalam daftar hitam negara itu. Petisi itu disorongkan oleh kelompok oposisi yakni Partai Kebebasan Konstitusional (PDL), yang menguasai 10 kursi parlemen dari total 217 kursi.
Situs aa.com.tr mewartakan PDL ingin organisasi Ikhwanul Muslimin dimasukkan ke dalam kategori organisasi teroris. Akan tetapi, petisi itu ditolak oleh biro parlemen Tunisia yang terdiri dari juru bicara parlemen, para wakilnya dan 10 perwakilan anggota parlemen dari semua partai yang duduk di parlemen.
Baca Juga:
Pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna.[biography.com]
Partai Ennahda, yang menguasai 54 kursi parlemen, menggambarkan rancangan yang diajukan PDL sama dengan buang-buang waktu. Sedangkan juru bicara Partai Ennahda, Sayyid Ferjani, mengatakan petisi yang dimasukkan itu ditujukan untuk melayani agenda asing dan hanya fokus ke masalah yang sangat kecil.
Sebelumnya pada April 2019 situs nytimes.com mewartakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan agar kelompok Ikhwanul Muslimin dimasukkan sebagai sebuah organisasi teroris. Penunjukkan ini akan memberlakukan sanksi kepada kelompok itu dan mereka yang melakukan aktivitas bisnis dengan Ikhwanul Muslimin.
Akan tetapi, pejabat di Pentagon dan Kemenerian Luar Negeri Amerika Serikat keberatan dengan usulan itu. Mereka mengatakan kelompok Ikhwanul Muslimin tidak memenuhi definisi hukum sebagai sebuah kelompok teroris. Usulan yang diajukan Trump itu juga bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan dari negara-negara sekutu Amerika Serikat, di mana Ikhwanul Muslimin memilik pengaruh politik yang besar.
Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan yang dibentuk di Mesir pada 1928 oleh Hasan al-Banna, seorang guru sekolah yang bekerja di Kota Ismailia dekat Terusan Suez. Al-Banna mengatakan kebangkitan Islam akan memungkinkan umat Muslim dunia mengejar kemajuan negara-negara Barat dan melepaskan diri dari aturan penjajahan.