TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah aktivis di Hong Kong menyerukan masyarakat agar berunjuk rasa melawan rencana Beijing dengan yang ingin memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong. Undang-undang baru itu dikhawatirkan bisa menggerus kebebasan masyarakat Hong Kong melalui kekuatan militer dan rasa waswas.
“Ini momen yang bagus untuk kembali mulai berunjuk rasa,” kata Kay, 24 tahun, mahasiswa.
Massa di Hong Kong berunjuk rasa pada Senin, 23 Desember 2019 menuntut kebebasan yang lebih luas. Sumber: Reuters
Rencana melakukan sebuah unjuk rasa bakal dilakukan di pusat keuangan Hong Kong pada Jumat siang, Jumat, 22 Mei 2020, tidak terwujud setelah seruan melakukan unjuk rasa hanya dilakukan oleh beberapa aktivis dan kepolisian anti-huru-hara dikerahkan ke beberapa jalan Kota Hong Kong.
Akan tetapi, seruan unjuk rasa kembali muncul agar dilakukan pada malam hari. Aktivis Joshua Wong berencana melakukan jumpa pers untuk mengumumkan seruan turun ke jalan pada Jumat malam, 22 Mei 2020.
Beberapa saat sebelumnya dalam laporan tahunan di hadapan parlemen Cina, Perdana Menteri Cina Li Keqiang mengatakan Cina akan mendirikan sebuah sistem hukum dan mekanisme penegakan hukum demi memastikan terwujudnya keamanan nasional di Hong Kong dan Makau, yang berstatus semi-otonomi. Sebuah rancangan (draft) yang sampai ke Reuters memperlihatkan legislasi yang diusulkan untuk Hong Kong meminta wilayah itu segera menyelesaikan peraturan keamanan nasional di bawah konstitusi Hong Kong yang kecil dan undang-undang dasar.
Dalam dokumen itu disebutkan pula undang-undang keamanan nasional tersebut nantinya untuk menangani pemisahan diri, subversi dan aktivitas terorisme serta intervensi asing. Aturan hukum itu juga diharapkan bisa menjadi pelindung yurisdiksi pemerintah pusat serta otonomi Hong Kong.
Sebelumnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump memperingatkan Washington akan bersikap tegas jika Beijing meloloskan undang-undang keamanan. Sedangkan Stephen Innes, Kepala Strategi Pasar Global, AxiCorp mengatakan undang-undang keamanan itu bisa berpotensi membangkitkan kembali unjuk rasa pro-demokrasi 2019 yang menjadi krisis terbesar bagi Hong Kong sejak diserahkan kembali oleh Inggris ke Cina pada 1997.