TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan pemerintahannya akan lebih ketat dalam mengawasi aktivitas imam asing. Hal itu, kata ia, untuk mengantisipasi kemungkinan adanya kelompok muslim separatis di Prancis.
"Melanggar hukum di Republik Prancis dengan alasan keagamaan adalah hal yang tidak bisa diterima. Sebagai republik, kita harus memerangi diskriminasi dan menonjolkan meritokrasi di manapun," ujar Macron sebagaimana dikutip dari Financial Times.
Selama ini, menjelang pemilu di Prancis, Macron cenderung menjauh dari isu-isu yang berkaitan dengan keagamaan. Ia lebih memilih untuk fokus ke perbaikan ekonomi Prancis. Pernyataan terbarunya menandakan bahwa Macron sudah mulai mencoba isu baru untuk menjaring dukungan dari kelompok sayap kanan di Prancis.
Salah satu hal yang akan dilakukan, kata Macron, adalah kontrol ketat terhadap pengiriman imam asing dari Algeria, Maroko, dan Turki. Tiap tahunnya, ketiga negara itu bisa mengirim hingga 300 imam ke Prancis.
Macron berkata, pengiriman imam asing dari Algeria, Maroko, dan Turki bisa berdampak buruk bagi Prancis ke depannya. Sebab, di mata Macron, kebanyakan imam Asing tersebut tidak terlalu peduli dengan budaya di Prancis atau bahkan tidak berbicara bahasa Prancis. Macron tidak ingin puluhan ribu generasi penerus dari komunitas Muslim tidak menghargai kebudayaan Prancis nantinya.
"Saya tidak akan membiarkan negara manapun memasukkan semangat separatis ke Prancis," ujarnya menegaskan.
Untuk memastikan imam asing bisa dikontrol dengan baik, Macron memastikan pengiriman tahun ini akan menjadi yang terakhir. Selain itu, dirinya akan menjalin kerjasama dengan komunitas dan organisasi Muslim di Prancis untuk memastikan imam-imam berikutnya berasal dari Prancis atau minimal bisa berbahasa Prancis.
"Kami akan melatih Imam di Prancis sehingga mereka juga bisa berbahasa Prancis dan memahami hukum yang berlaku di republik ini," ujar Emmanuel Macron.
ISTMAN MP | FINANCIAL TIMES | REUTERS