TEMPO.CO, Jakarta - Human Right Watch (HRW) meminta para pemimpin Asia Tenggara pada KTT ASEAN ke-34 agar memikirkan kembali penilaian mereka terhadap kondisi buruk etnis Rohingya di Myanmar.
Selama KTT 2018, ASEAN membahas krisis Rohingya tetapi sebagian besar berfokus pada masalah repatriasi, memperlakukan "situasi kemanusiaan" di Negara Bagian Rakhine Myanmar hanya sebagai "masalah keprihatinan" dan mengabaikan kejahatan pemerintah terhadap kemanusiaan, kata HRW dalam situs webnya, dikutip 22 Juni 2019.
Baca juga: Mahathir Desak Penindasan Atas Etnis Rohingya Dihentikan
Untuk KTT minggu ini, Tim Tanggap Darurat dan Tindakan (ERAT) ASEAN merilis penilaian awal tentang repatriasi bagi sekitar satu juta pengungsi Rohingya yang sekarang di Bangladesh.
Laporan setebal 56 halaman, yang diperoleh oleh Human Rights Watch, dikembangkan tanpa masukan dari para pengungsi Rohingya dan hampir seluruhnya mengabaikan kekejaman pemerintah Myanmar yang menyebabkan pemindahan massal.
Laporan bahkan tidak menggunakan istilah "Rohingya" yang menyangkal identitas diri kelompok itu.
"ASEAN tampaknya berniat membahas masa depan Rohingya tanpa mengutuk atau bahkan mengakui kampanye pembersihan etnis militer Myanmar melawan mereka," kata Brad Adams, direktur HWR untuk Asia.
"Tidak masuk akal bagi para pemimpin ASEAN untuk mendiskusikan pemulangan populasi yang trauma ke tangan pasukan keamanan yang membunuh, memperkosa, dan merampok mereka," tambahnya.
Baca juga: PBB Akui Ada Kegagalan Sistemik Saat Tangani Etnis Rohingya
Pemerintah Myanmar telah berulang kali membantah bahwa militernya bertanggung jawab atas situasi pengungsi saat ini
Dalam pernyataan penutup pada KTT 2018, ASEAN menyatakan "perlu menemukan solusi yang komprehensif dan jangka panjang untuk mengatasi akar penyebab konflik dan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga masyarakat yang terkena dampak dapat membangun kembali kehidupan mereka."
Namun menurut Human Right Watch, fokus ASEAN selanjutnya pada proses repatriasi seperti yang ditunjukkan dalam laporan ERAT, mengabaikan situasi di lapangan dan gagal mengidentifikasi akar penyebab krisis yang perlu diselesaikan sebelum pengungsi dapat kembali dalam keamanan dan martabat.
Baca juga: Indonesia Diminta Terus Suarakan Genosida Rohingya di Myanmar
ASEAN juga mengabaikan upaya untuk menyelidiki pelanggaran dan mendapatkan keadilan bagi para korban kekejaman.
Laporan ERAT mengatakan bahwa tujuannya "untuk menilai kesiapan Pusat Penerimaan dan Transit, termasuk lokasi relokasi yang potensial yang telah diidentifikasi oleh Pemerintah Myanmar," tetapi mencatat bahwa ada atau tidaknya syarat-syarat untuk pengembalian adalah "di luar cakupan" dari penilaian.
Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) menanggapi kritik terhadap kelalaian ini dengan mengklaim bahwa bidang keahlian dan mandat ERAT adalah “manajemen bencana...Ini sangat fokus dan kami tidak bisa melampaui mandat kami."
Laporan itu juga tidak membahas tantangan yang dihasilkan dari pertempuran antara militer dan Tentara Arakan yang telah menggusur lebih dari 35.000 etnis Rakhine dan lainnya sejak Januari.
Penyusunan laporan ASEAN atas penilaian repatriasi tanpa menangani masalah hak-hak fundamental menunjukkan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan populasi yang terkena dampak, menurut HRW.
Baca juga: 4 Fakta Repatriasi Pengungsi Rohingya
Dalam draft laporan Pusat Koordinasi Asean untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Penanggulangan Bencana yang diperoleh Bloomberg, menguraikan strategi untuk repatriasi damai Muslim Rohingya ke Myanmar dan menggambarkan hubungan antara komunitas etnis di Negara Bagian Rakhine sebagai "stabil."
Seorang pejabat Thailand mengatakan kepada The Nation, secara informal para pemimpin akan membahas krisis Rohingya di Myanmar, untuk mengambil peran langsung untuk menyelesaikan krisis.
Dia mengatakan masalah itu hanya akan dianggap dari sikap kebutuhan kemanusiaan dan para pemimpin akan menahan diri dari menangani kekerasan dan pembersihan etnis yang terjadi di negara bagian Rakhine.
ASEAN setuju tahun lalu untuk membantu memfasilitasi pemulangan pengungsi Rohingya, tetapi rencana untuk mengirim 2.000 pengungsi tahap awal ke Rakhine dibatalkan pada November karena para pengungsi menolak dan takut direpatriasi.
Tim penilai ASEAN mengunjungi Rakhine beberapa kali antara Desember dan Mei, mengirimkan laporannya ke negara-negara anggota untuk dipertimbangkan.
Seorang pemimpin komunitas Rohingya di Thailand mengatakan kepada The Nation bahwa mereka ingin mengajukan permintaan bantuan kepada para pemimpin Asean di KTT ASEAN ke-34, tetapi polisi mendesak mereka untuk tidak membuat masalah di Bangkok.
Mereka malah menyiapkan surat terbuka dengan selusin tuntutan untuk Myanmar dan negara-negara anggota ASEAN, di mana anggota komunitas mereka tinggal dan bekerja untuk menjamin keselamatan mereka serta memberi mereka status hukum yang tepat bagi pengungsi Rohingya.