TEMPO.CO, Hong Kong – Layanan jejaring sosial Telegram di Hong Kong terkena serangan peretasan atau cyber attack.
Baca juga: Kegiatan Bisnis dan Perbankan Hong Kong Pulih Pasca Demo Besar
Serangan ini diduga untuk mengganggu aksi unjuk rasa yang menolak pembahasan RUU Ekstradisi tersangka kriminal ke Cina.
“Menurut manajemen Telegram, terjadi serangan siber dalam bentuk distributed denial of service terhadap layanan aplikasi pada 12 Juni 2019,” begitu dilansir IB Times pada Kamis, 14 Juni 2019.
Menurut pendiri Telegram, yang juga merangkap CEO yaitu Pavel Durov, mayoritas alamat internet protocol yang terlibat dalam serangan itu berasal dari Cina.
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
Durov mengatakan menurut pengalaman semua aktor negara melakukan serangan DDOS dengan kekuatan 200 – 400 GB per detik.
“Ini terjadi bersamaan dengan protes di Hong Kong (yang dikoordinasikan di Telegram). Kasus ini bukan sebuah pengecualian,” kata Durov.
DDOS merupakan bentuk serangan berupa permintaan akses berlebih kepada sebuah alamat IP, yang membuat server kewalahan sehingga tidak bisa melayani panggilan itu. Ini membuat layanan di sever itu menjadi lumpuh dan situs tidak bisa diakses publik.
Baca juga: Inggris Minta Hong Kong Dengarkan Aspirasi Publik Soal Ekstradisi
Selama ini, para pemrotes di Hong Kong menggunakan aplikasi Telegram untuk berkomunikasi diantara mereka dan mengorganisasi aksi unjuk rasa besar.
Aplikasi populer seperti Telegram dan WhatsApp mudah digunakan para pemrotes untuk saling berkomunikasi. Mereka melakukan pawai, unjuk rasa jalanan, aksi duduk di area tertentu hingga bentrok fisik dengan polisi.
Telegram menjadi aplikasi yang populer karena data pengguna dienkripsi. Aplikasi ini juga memungkinkan pengguna mengirim pesan ke dalam grup beranggotakan lebih 200 ribu orang. Ini membuat pengguna bisa mengirimkan pesan ke audiens yang tak terbatas.
Baca juga: Unjuk Rasa Menolak RUU Ekstradisi Hong Kong Digelar di Sydney
Pada Rabu, 12 Juni 2019, Reuters melansir pengunjuk rasa mengalami bentrok fisik dengan polisi, yang berjaga di depan gedung parlemen.
Tampilan close-up aplikasi pesan Telegram terlihat di ponsel pintar pada tanggal 25 Mei 2017 di London, Inggris. Telegram merupakan aplikasi pesan layaknya aplikasi WhatsApp. Telegram hadir dengan menawarkan keamanan sebagai fitur unggulan karena dibekali end-to-end encryption, fitur self-destructing message dan secret chat. (Photo by Carl Court/Getty Images)
Polisi menembakkan peluru karet, dan gas air mata kepada pengunjuk rasa yang mencoba menembus barikade. Massa menyerang polisi dengan botol plastik, payung, dan pagar pembatas begitu tenggat pukul tiga sore dari massa kepada pemerintah untuk menyatakan menarik RUU Itu terlewati.
Menurut SCMP, pemerintah Hong Kong dan sejumlah anggota parlemen memutuskan untuk menunda pembahasan karena terjadinya kerusuhan di depan gedung parlemen. Kelompok Civil Human Rights Front menyerukan kepada warga, pemilik toko, sekolah, dan pekerja untuk turun ke jalan pada Ahad pekan ini.