TEMPO.CO, London – Pemerintah Inggris mendesak pemerintah Hong Kong untuk mendengarkan aspirasi publik terkait unjuk rasa menolak pembahasan RUU Ekstradisi.
Baca juga: RUU Ekstradisi Ditolak, Kepala Eksekutif Hong Kong Bilang Ini
RUU itu memungkinkan tersangka kriminalitas untuk diekstradisi ke Cina atas seizin pemerintah dan pengadilan Hong Kong tanpa melibatkan parlemen.
“Protes yang terus berlanjut di Hong Kong merupakan tanda yang jelas dan signifikan bahwa publik merasa khawatir mengenai perubahan dalam UU Ekstradisi. Saya menyerukan semua pihak untuk tetap tenang dan damai,” kata Jeremy Hunt, menteri Luar Negeri Inggris, seperti dilansir Channel News Asia pada Rabu, 12 Juni 2019.
Hunt melanjutkan,”Saya mendesak pemerintah Hong Kong mendengarkan kekhawatiran publik dan negara sahabat di forum internasional dan berhenti serta melakukan refleksi mengenai langkah yang kontrovesial ini.”
Baca juga: Polisi Hong Kong Tembak Pengunjuk Rasa dengan Peluru Karet
Menurut Hunt, otoritas Hong Kong, yang berpenduduk 7.4 juta orang, perlu melakukan pendekatan kepada publik. “Sangat penting bagi otoritas Hong Kong untuk melakukan dialog berarti dan mengambil langkah menjaga kebebasan dan hak-hak warga Hong Kong serta tingkat otonomi yang luas, yang sudah menjadi reputasi internasional,” kata Hunt.
Hong Kong merupakan bekas koloni Inggris setelah terjadinya Perang Opium pada 1842. Koloni ini lalu bertambah luas hingga ke Semenanjung Kowloon setelah terjadinya Perang Opium Kedua pada 1860.
Baca juga: Pengunjuk Rasa Menolak RUU Ekstradisi Hong Kong Digelar di Sydney
Cina menyerahkan Hong Kong yang diperluas itu kepada Inggris dengan sewa selama 99 tahun pada 1898. Inggris lalu mengembalikan Hong Kong ke Cina pada 1997 dengan kesepakatan satu negara dengan dua sistem, yaitu Hong Kong menganut demokrasi dan Cina menganut komunis.
“Menegakkan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem” yang tercantum dalam Deklarasi Bersama Inggris – Cina dan mengikat, merupakan hal vital bagi kesuksesan Hong Kong,” kata Hunt.
Reuters melansir terjadi bentrok fisik antara pengunjuk rasa dan polisi di depan gedung parlemen, yang mulai menggelar pembahasan putaran kedua RUU Ekstradisi pada Rabu, 12 Juni 2019.
Baca juga: Media Cina Tuding Barat Dukung Unjuk Rasa Hong Kong
Warga melempari polisi yang berjaga dengan plastik botol, dan sebagian menyerang menggunakan payung. Polisi menembakkan peluru karet, serbuk merica, gas air mata dan memukul pengunjuk rasa menggunakan tongkat untuk membubarkan paksa warga.
Pengunjuk rasa bentrok dengan polisi saat protes atas penolakan pemerintah untuk membatalkan pembahasan RUU Ekstradisi di Hong Kong, 12 Juni 2019. Ribuan demonstran memenuhi jalan-jalan utama di Hong Kong, untuk mendesak parlemen dan pemerintah membatalkan RUU Ekstradisi. REUTERS/Athit Perawongmetha
Bentrok fisik ini terjadi setelah pukul tiga sore kemarin, yang merupakan tenggat dari pengunjuk rasa kepada pemerintah Hong Kong untuk menarik pembahasan amandemen RUU Ekstradisi ini. Pemerintah akhirnya menyatakan pembahasan RUU kontroversial itu dihentikan hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Baca juga: Empat Organisasi Jurnalis Tolak RUU Ekstradisi Hong Kong
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, menuding unjuk rasa rusuh ini terjadi karena itu adalah kerusuhan yang terorganisir. Dia meminta semua warga bersikap tenang untuk menyelesaikan perbedaan pendapat sambil tetap menjaga nilai-nilai masyarakat yang terbuka, pluralistik dan demokratis.