TEMPO.CO, Washington – Pemerintah Amerika Serikat mendesak pemerintah Filipina untuk secara cepat menyelesaikan kasus yang melibatkan jurnalis Maria Ressa, yang juga Chief Executive Officer dari media Rappler.
Baca:
Ini perlu dilakukan agar Ressa bisa dengan segera bekerja dengan bebas.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan negaranya merasa prihatin dengan penangkapan tokoh media yang kritis terhadap Presiden Filipina, Rodrigo Duterte itu. AS meminta Filipina menghormati kebebasan media.
“Kebebasan berekspresi merupakan tonggak dari sebuah masyarakat yang demokratis dan kebebasan fundamental yang diakui oleh AS dan Filipina,” begitu pernyataan dari jubir kemenlu AS seperti dilansir GMA News pada Jumat, 29 Maret 2019.
Baca:
Kemenlu AS juga menambahkan bahwa Ressa merupakan seorang jurnalis berpengalaman. “Izinkan Ressa dan Rappler untuk terus beroperasi secara bebas dan konsisten dengan tradisi kebebasan dan independensi media di Filipina,” begitu dilansir GMA News mengutip pernyataan kemenlu.
Ressa sempat ditangkap pada Februari 2019 terkait tudingan pemberitaan yang keliru dan telah dibebaskan setelah membayar uang jaminan. Namun, Ressa kembali ditangkap pada Jumat pekan ini dengan tuduhan dia dan koleganya di Rappler telah melanggar aturan mengenai kepemilikan asing di media.
Baca:
Penangkapan Ressa ini, yang dikhawatirkan dipicu karena liputannya terhadap kebijakan pemerintah, telah mengejutkan dunia media di Filipina, yang biasanya bebas dan tidak takut untuk mengajukan pertanyaan kepada para pemimpin pemerintahan.
Selama ini, Rappler telah memberitakan secara luas operasi anti-narkoba Duterte yang menewaskan ribuan jiwa. Kelompok-kelompok advokasi HAM mengatakan tindakan Duterte itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca:
Secara terpisah, seperti dilansir Rappler, sejumlah organisasi mahasiswa dari University of the Phillipines Diliman menggelar protes penangkapan Ressa terkait pelanggaran ketentuan di UU Anti-Dummy.
Mahasiswa UPS menuding penangkapan CEO Rappler itu,”Adalah manuver Presiden Rodrigo Duterte untuk membungkam kebenaran.”