TEMPO.CO, Brussel – Dukungan kepada pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, bertambah dengan pengakuan dari parlemen Uni Eropa.
Baca:
Parlemen UE mendukung Guaido sebagai Presiden interim untuk menggantikan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, yang dinilai tidak memiliki legitimasi.
Ini karena Maduro memenangkan pemilu, yang dinilai sarat kecurangan oleh lembaga pemantau internasional dan ditolak kelompok oposisi.
Baca:
“anggota parlemen UE memvoting setuju 439 dan menolak 104 dan 88 absen dalam sesi khusus di Brussel untk mengakui ketua kongres Venezuela Guaido sebagai pemimpin interim,” begitu dilansir Reuters pada Kamis, 31 Januari 2019 waktu setempat.
Pemerintah UE sebelumnya sempat terbelah mengenai apakah akan langsung mengakui Guaido, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden interim pada pekan lalu dalam sebuah unjuk rasa di ibu kota Caracas, Venezuela.
Baca:
UE terkesan enggan mengikuti langkah dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara di Amerika Latin, yang langsung mengakui Guaido.
Pemungutan suara di parlemen UE ini bersifat tidak mengikat. Namun, 28 pemerintah anggota Uni Eropa diminta mengikuti sikap parlemen ini.
“Parlemen UE juga mendesak agar segera digelar pemilu Presiden yang baru, bebas, transparan dan kredibel,” begitu dilansir Reuters.
Empat negara besar Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Spanyol, mengatakan akan mengakui Guaido kecuali Maduro menggelar pemilu dalam delapan hari. Pernyataan ini keluar pada Sabtu pekan lalu. Soal ini, Maduro mengatakan pemilu Venezuela berikutnya baru akan berlangsung pada 2025.
Baca:
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Federica Mogherini, mengatakan negara Eropa bakal ikut serta dalam grup kontak internasional bersama Bolivia, Ekuador, dan negara lain. Menurut dia, peran grup ini bukan untuk mediasi.
“Ini bukan soal mediasi. Ini tentang membangun dialog. Kita telah melihat proses sebelumnya yang hanya digunakan untuk mengulur waktu,” kata Mogherini. Grup ini akan bekerja salam 90 hari dan akan diakhiri jika tidak menghasilkan kemajuan.
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, menggelar acara lari bersama tentara loyalis pada 27 Januari 2019. Reuters
“Tujuan grup ini untuk membantu negara melakukan proses pemiliu yang demokratis, bebas dan damai,” kata Mogherini sambil menambahkan situasinya sekarang kurang kondusif. “Kami mengambil resiko besar,” kata dia.
Media Express melansir krisis politik di Venezuela terjadi setelah sekitar 25 tentara level bawah menyerang pos penjagaan dekat istana Presiden Venezuela. Mereka mendesak Presiden Maduro agar mundur. Namun, gerakan ini tidak meluas dan tentara pelaku kudeta langsung ditangkap untuk menjalani proses hukum.