TEMPO.CO, Jakarta - Pemilu Kamboja yang diselenggarakan pada Minggu, 29 Juli 2018, mendapat perhatian dunia Internasional. Keputusan Perdana Menteri, Hun Sen, untuk kembali maju sebagai orang nomor satu di Kamboja deras dikritik.
Menurut Jimly Asshiddiqie, satu dari 10 tim pemantau pemilu Kamboja 2018, Hun Sen bukan pemimpin negara pertama yang berusaha melanggengkan kedudukannya. Di Rusia, Presiden Vladimir Putin, bolak-balik berganti posisi dari Perdana Menteri ke Presiden.
Sedangkan di Cina, Presiden Xi Jinping, pada Maret 2018 membuat perubahan konstitusi sehingga memungkinkannya menjadi Presiden seumur hidup.
"Fenomena Hun Sen sekarang semakin banyak," kata Jimly, Senin, 30 Juli 2018, dalam acara ramah-tamah WNI di Kamboja dengan Duta Besar RI untuk Kamboja, Sudirman Haseng dan beberapa tim pemantau pemilu Kamboja 2018.
Baca: Australia Prihatin Atas Pemilu Kamboja, Kenapa?
Ramah-tamah WNI di Kamboja dengan Duta Besar Indonesia untuk Kamboja, Sudirman Haseng dan sejumlah tim pemantau pemilu Kamboja 2018 dari Indonesia. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Baca: Pemilu Kamboja, Jumlah Suara Tidak Sah Belum Bisa Dipublikasi
Menurutnya, pemilu Kamboja 2018 telah berjalan jujur, namun demokrasi itu bukan hanya pemilu. Sebab yang paling penting dalam demokrasi adalah adanya pembatasan dan giliran dalam sebuah kepemimpinan.
Hal lain yang disoroti Jimly dalam pemilu Kamboja 2018 adalah hubungan antar umat beragama di Kamboja yang berjalan harmonis. Di wilayah dengan mayoritas umat Islam, Partai Rakyat Kamboja atau CPP, unggul. Ini menjadi sinyalemen indahnya hubungan umat Islam dan Budha di Kamboja, berbanding terbalik dengan kondisi di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Dengan pemerintahan Kamboja yang baru ini, Jimly berharap Indonesia-Kamboja bisa terus saling menjaga rasa hormat. Hubungan Indonesia-Kamboja sudah berlangsung lama dan menjadi bagian dari sejarah nenek-moyang karena terjalin erat sejak era Kerajaan Mulawarman.