TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Mesir pada Senin 16 Juli mengeluarkan rancangan undang-undang yang memberikan kewarganegaraan asing jika mereka menyimpan uang sebesar 7 juta pound Mesir atau sekitar US$ 391.000 atau Rp 5,6 miliar, di bank lokal. Nasabah asing harus menyimpannya di sana selama lima tahun dan berada di Mesir. Ini adalah salah satu syarat yang tertulis dalam RUU.
Dilaporkan dari Associated Press, 17 Juli 2018, draf RUU ini masih memerlukan persetujuan akhir Presiden Abdel-Fattah el-Sissi, sebelum bisa diimplementasikan menjadi undang-undang.
Baca: Mesir Ungkap Temuan Mumi di Kuburan Dekat Piramida Agung
Berdasarkan undang-undang baru, orang asing yang melakukan deposit sebesar 7 juta pound Mesir atau setara dalam mata uang asing, bisa mengambil kewarganegaraan jika mereka menyerahkan deposit setelah lima tahun.
Tidak segera jelas apa manfaat ekonomi yang diperoleh orang asing dengan memperoleh kewarganegaraan karena Mesir menempatkan beberapa pembatasan pada proyek investasi asing dan melarang kepemilikan asing atas lahan pertanian dan properti di semenanjung Sinai, di mana terjadi pemberontakan.
Parlemen Mesir [Daily News Egypt]
"Menteri dalam negeri dapat memberikan kewarganegaraan Mesir kepada semua orang asing yang telah tinggal di Mesir untuk jangka waktu setidaknya lima tahun berturut-turut sebelum mengajukan permohonan untuk naturalisasi," kata amandemen RUU seperti dikutip dari Arabnews.
"Setelah menerima permintaan naturalisasi, nilai deposit akan ditransfer ke kas publik," lanjut isi draf RUU.
Kepala pertahanan parlemen dan komite keamanan nasional, Jenderal Kamal Amer, mengatakan undang-undang baru ini melengkapi amandemen baru-baru terhadap tindakan investasi yang memberikan insentif kepada orang asing untuk berinvestasi di negara tersebut.
Dia mengatakan orang asing yang memperoleh kewarganegaraan tidak akan menikmati hak politik sampai setelah lima tahun kewarganegaraan dan akan membutuhkan 10 tahun untuk memenuhi syarat untuk pemilihan atau pengangkatan ke badan perwakilan.
Baca: Mesir Hukum Loyalis Ikhwanul Muslimun 25 Tahun, Dituding Teroris
RUU ini memicu hujan kritik oleh legislator dan warga di media sosial. Anggota parlemen, Haitham el-Hariri, menuduh pemerintah menjual kewarganegaraan Mesir, padahal seharusnya memfasilitasi residensi dan prosedur visa untuk investor. Anggota parlemen pro-pemerintah, Mustafa Bakri, juga menolak RUU dan mengatakan bahwa kewarganegaraan Mesir tidak untuk dijual.
Banyak orang Mesir menulis di situs media sosial, mengecam rancangan undang-undang yang mengubah undang-undang 1960 tentang pemberian kewarganegaraan dan tempat tinggal bagi orang asing. Kolumnis terkemuka, Abdel-Azim Hammad, menyarankan dalam posting Facebook pada hari Minggu bahwa pemerintah seharusnya fokus pada "mengambil uang yang dicuri dan diselundupkan" keluar dari Mesir, dalam referensi untuk pengusaha yang meninggalkan negara itu selama pemberontakan 2011.
Billboard kampanye Presiden Abdel-Fattah el-Sissi untuk pemilihan presiden di Kairo, Mesir, 19 Maret 2018. AP
Kantor berita MENA pada Senin 16 Juli, mengutip Ketua Parlemen Ali Abdel-Aal juga membela RUU dan mengatakan, "Beberapa warga asing menikmati subsidi (pemerintah) dan layanan...dan pada akhirnya mengambil kewarganegaraan dari negara lain, mengapa tidak memberi mereka Kewarganegaraan Mesir?"
Anggota parlemen Mohammed el-Sewidy, kepala Dukungan Mesir Koalisi, blok mayoritas di parlemen, membela RUU itu. Dia berpendapat bahwa rancangan yang diusulkan adalah bagian dari perbaikan iklim investasi di Mesir.
Baca: Gara-gara Video, Mesir Vonis Turis Lebanon 8 Tahun Penjara
Musyawarah mengenai RUU muncul karena Mesir tengah mempercepat perekonomian dengan program reformasi ekonomi yang lebih luas, termasuk pemotongan subsidi, memberlakukan pajak pertambahan nilai dan flotasi mata uang. Program ini dirancang untuk memenuhi permintaan oleh IMF sebagai syarat pinjaman sebesar US$ 12 miliar atau Rp 172 triliun kepada Mesir pada 2016.