TEMPO.CO, Washington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengatakan ada kemungkinan pertemuan puncak antara dia dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, tertunda dan tidak bisa terlaksana pada 12 Juni 2018.
“Tidak apa-apa. Itu tidak berarti pertemuan itu tidak akan terjadi pada periode berikutnya. Pertemuan itu mungkin tidak terlaksana pada 12 Juni. Tapi ada kemungkinan bagus kita akan mengadakan pertemuan,” kata Trump kepada media seperti dilansir Reuters, Selasa, 22 Mei 2018, usai pertemuannya dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, yang datang ke Gedung Putih untuk mencoba menyelamatkan pertemuan puncak bersejarah itu.
Baca: Trump: Cina Perketat Penjagaan Perbatasan Korea Utara, karena?
Jika pertemuan yang akan digelar di Singapura batal, maka ini akan menjadi pukulan politik besar bagi Trump dan para pendukungnya. Mereka menyebut pertemuan Trump dan Kim ini sebagai capaian diplomatik terbesar dalam masa kepresidenan Trump.
“Jika pertemuan ini batal maka ini akan menjadi kekecewaan terbesar bagi Presiden sendiri,” begitu dilansir Reuters.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, mengangkat tangan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, saat penandatangan kesepakatan di Rumah Perdamaian di desa Panmunjom di zona gencatan senjata, 27 April 2018. . (Korea Summit Press Pool via AP)
Menurut Trump, Korea Utara berpeluang menjadi negara besar. “Saya pikir mereka harus mengambil kesempatan itu,” kata Trump.
Baca: Kim Jong Un Takut Dikudeta saat Temui Donald Trump di Singapura
Rencana pertemuan puncak Korea Utara dan Amerika Serikat terancam batal setelah negara komunis itu mengeluhkan latihan perang besar-besaran yang digelar AS dan Korea Selatan. Latihan bernama "Max Thunder" ini melibatkan sekitar 100 pesawat tempur termasuk pesawat siluman F-22.
Awalnya, latihan ini disebut-sebut bakal melibatkan pesawat pengebom nuklir B-52, yang akan terbang melintasi Semenanjung Korea. Namun, Trump membatalkan pelibatan pesawat tambun ini karena adanya protes Korea Utara tadi.
Rezim Korea Utara, sepeti dilansir kantor berita KCNA, juga memprotes keras ucapan penasehat keamanan nasional Trump, yaitu John Bolton. Bolton mengatakan pemerintah AS mempertimbangkan untuk menggunakan opsi Libya.
Opsi ini diterapkan pada awal 2000 untuk mengerem laju proyek senjata nuklir Libya, yang saat itu dipimpin diktator Moammar Ghaddafi. Namun, setelah menerima opsi penghentian program senjata nuklir, Ghaddafi diserang sekelompok separatis dukungan militer AS.
Ini berujung dengan tertangkapnya Ghaddafi dalam Pertempuran Sirte. Ghaddafi, yang bersembunyi di salah satu selokan besar di Kota Sirte, ditangkap dan langsung dieksekusi gerilyawan di jalanan kota.
Beberapa jam setelah Trump berbicara, seperti dilansir CNN, Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo, mengatakan dia masih optimis pertemuan pada 12 Juni 2018 nanti bisa terjadi.
“Kami bekerja untuk memastikan ada pemahaman bersama mengenai isi dari pembahasan di pertemuan puncak (Trump dan Kim Jong Un) nanti. Saya optimis,” kata dia sambil menambahkan ada kemungkinan pertemuan itu memang batal terjadi.