TEMPO.CO, Washington -- Kabar pelarangan penjualan komponen produk teknologi buatan Amerika Serikat ke perusahaan telekomunikasi asal Cina, ZTE, mewarnai perang dagang dua ekonomi terbesar dunia ini.
ZTE merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Cina. Pada pekan lalu, pemerintah Kementerian perdagangan AS resmi menyatakan melarang penjualan berbagai teknologi baik komponen perangkat keras dan lunak termasuk chip processor selama 7 tahun.
Baca: Perang Dagang, Media Cina Yakin Bakal Menang Lawan Amerika
“Ada konsensus yang berkembang di Washington bahwa AS sedang berkompetisi dengan Cina dalam kepemimpinan teknologi,” kata Arthur Kroeber, managing director dari perusahaan riset Gavekal Dragonomics, yang berbasis di Beijing, seperti dilansir LA Times, Selasa, 24 April 2018.
Pemerintah AS menyebut ZTE telah melanggar pelarangan penjualan komponen telekomunikasi ke Iran dan Korea Utara pada 2017. Untuk kesalahan ini, perusahaan telah membayar denda US1,19 miliar (sekitar Rp16,5 triliun). Komisaris ZTE, Yin Min, menyebut sanksi pelarangan penjualan komponen teknologi ini,”Bisa membuat perusahaan langsung koma.”
Baca: Perang Dagang, Trump Mengecam Tarif Impor Cina
Kabar pelarangan ini membuat pemerintah Cina meradang. “Jika AS berusaha meredam perkembangan Cina maka itu salah kalkulasi karena justru merugikan kepentingan AS sendiri dengan puluhan ribu lapangan kerja terpengaruh termasuk ratusan perusahaan AS,” begitu pernyataan dari kementerian Perdagangan Cina, seperti dilansir media South China Morning Post.
Ketegangan hubungan bisnis AS dan Cina, yang disebut berbagai media global sebagai perang dagang, kentara ketika kedua negara saling berbalas kenaikan tarif impor sejak satu bulan terakhir.
Ini terjadi pasca keluhan Presiden AS, Donald Trump, terhadap Cina, yang menikmati surplus perdagangan pada tahun lalu sekitar US$375 miliar (sekitar Rp5,200 triliun). Trump mencuit lewat akun Twitter @realdonaldtrump meminta Cina mencukur surplus ini sebanyak US$100 miliar, yang ditolak Beijing. Padahal, Trump mengatakan Cina mengalami surplus perdagangan dengan AS selama 40 tahun terakhir.
Trump lalu mengenakan kenaikan tarif impor 25 persen dan 10 persen untuk impor baja dan aluminium dari Cina senilai sekitar US$ 60 miliar (sekitar Rp826 triliun). Ini diikuti pengenaan kenaikan tarif impor untuk berbagai produk teknologi canggih asal Cina dengan nilai sekitar US$50 miliar (sekitar Rp688 triliun).
Trump mengatakan kenaikan tarif ini sebagai sanksi atas berbagai praktek bisnis, yang menurutnya, tidak adil yang dilakukan Cina. Ini seperti memaksa perusahaan AS yang berbisnis di Cina melakukan transfer teknologi jika ingin berbisnis di sana.
Pemerintah Cina awalnya membalas dengan mengenakan kenaikan tarif impor sekitar 25 persen dan 10 persen untuk berbagai produk pertanian dan obat-obatan AS seperti daging babi beku dengan nilai impor US$3 miliar (sekitar Rp41 triliun).
Setelah AS mengeluarkan kenaikan tarif kedua, Cina membalas kembali mengenakan kenaikan tarif untuk impor produk teknologi canggih AS seperti mobil dan komponen pesawat terbang, yang nilainya mencapai sekitar US$50 miliar. Belakangan, Cina menurunkan tensi tensi perang dagang ini dengan menurunkan tarif impor mobil dari AS.