TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 300 imam dari Aljazair dan Maroko diharapkan memimpin salat di sejumlah masjid di Prancis selama Ramadan. Hal itu sebagai bagian dari kesepakatan bilateral antara Prancis dan kedua negara.
Namun demikian, kesepakatan bilateral itu mendapat kritik keras dari Perdana Menteri Prancis Manuel Valls. Dia meminta kedatangan imam masjid pada Ramadan dari kedua negara itu dibatalkan karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip Islam Prancis.
Baca: Dewan Muslim Prancis Desak Seluruh Masjid Kutuk Terorisme
Umat Islam berdoa setelah salat Jumat berjamaah di jalanan depan Balai Kota Clichy, dekat Paris, Prancis, 21 April 2017. Pemerintah daerah telah menawarkan untuk memindahkan masjid lama ke lokasi yang baru. REUTERS/Benoit Tessier
Menurut laporan Middle East Monitor, Aljazair, Tunisia, Turki, serta sejumlah negara lain telah mengirimkan imam untuk memimpin salat di masjid di Prancis. Selain memimpin salat, mereka juga diminta melawan ekstremisme.
Saat ini, ada 2.500 tempat ibadah bagi muslim Prancis, tapi jumlah pasti imam di sana tidak diketahui. "Sebagian besar relawan." Muslim Prancis membutuhkan banyak imam dan ulama, terutama saat Ramadan, untuk mengajarkan tafsir Al-Quran dan tajwid.
Seorang imam memimpin salat Jumat berjamaah di jalanan depan Balai Kota Clichy, dekat Paris, Prancis, 21 April 2017. Aparat menutup sebuah masjid di Kota Clichy karena dianggap ilegal. REUTERS/Benoit Tessier
Terkait dengan keluhan Perdana Menteri Prancis, Presiden Persatuan Masjid Prancis Mohammed Moussaoui mengatakan, "Mengapa kehadiran imam asing tiba-tiba menjadi masalah dan kontroversi?"
Baca: Masjid di Prancis Buka Pintu untuk Non-Muslim
Sebelumnya, pada awal April 2018, setidaknya 300 selebritas dan politikus Prancis mengutuk radikalisme Islam dan gerakan anti-Semit. Mereka juga mendesak muslim menolak anti-Yahudi dan anti-Kristen dengan referensi Al-Quran.