TEMPO.CO, Manila – Pemerintah Filipina memanggil perwakilan Amerika Serikat sebagai bentuk protes setelah 16 lembaga intelijen Amerika menyebut Presiden Rodrigo Duterte sebagai salah satu ancaman demokrasi dan hak asasi manusia di Asia Tenggara.
Hal itu terungkap dalam laporan Worldwide Threat Assessment, yang merupakan hasil kajian dari 16 lembaga intelijen Amerika.
Baca: Rodrigo Duterte Larang Wartawan Rappler Meliput, Ini Pemicunya
“Laporan itu menyebut Duterte bisa membekukan konstitusi negara Filipina dan menerapkan hukum militer secara nasional,” demikian seperti dilansir media Russia Today, Sabtu, 24 Februari 2018.
Nama Duterte disebut dalam laporan 28 halaman itu. Manila memanggil Duta Besar Amerika untuk Filipina, Sung Kim, pada Kamis lalu untuk menjelaskan penilaian dari 16 lembaga dinas intelijen Amerika itu.
Baca Juga:
Baca: Rodrigo Duterte Minta Tentara Filipina Tembak Vagina Pemberontak
Setelah Sung Kim menjelaskan sifat dari laporan itu kepada Sekretaris Eksekutif, Salvador Medialdea, Kedutaan Amerika menyatakan, "Kedua negara mendiskusikan kepentingan bersama dan upaya untuk meningkatkan kerja sama."
Media Filipina Inquirer.net menyebut laporan mengenai Duterte ini terdapat dalam laporan intelijen yang disusun Direktur Intelijen Nasional Amerika Daniel Coats.
“Di Filipina, Presiden Duterte akan terus menggalakkan kampanye yang menjadi ciri khasnya terhadap peredaran narkoba, korupsi, dan kejahatan," demikian bunyi laporan itu, seperti dikutip Inquirer.
“Duterte juga telah menyatakan dia bisa saja membekukan konstitusi, menyatakan pemerintahan revolusioner, dan menerapkan hukum militer secara nasional.”
Laporan itu juga mengutip laporan dari Freedom House, yang menyatakan pemerintah Filipina termasuk salah satu pemerintahan yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda, membentuk opini publik, dan melawan kritik online terhadap pemerintah.
“Kami mencatat makin banyak pemerintah yang menggunakan propaganda dan mis-informasi di media sosial untuk mempengaruhi publik domestik dan internasional,” demikian bunyi laporan tersebut.
Laporan intelijen nasional Amerika ini juga memprediksi demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara cukup rapuh karena adanya kecenderungan pola pemerintahan autokratis atau gaya kepemimpinan otoriter sejumlah rezim, terjadinya korupsi massal, dan kroniisme, yang melemahkan sistem demokrasi. Duterte merupakan salah satu pemimpin di Asia Tenggara yang dikenal menempuh jalur kekerasan dalam menyelesaikan masalah narkoba dan separatisme.