TEMPO.CO, Jakarta - Ethiopia berstatus keadaan darurat menyusul mundurnya Perdana Menteri Hailemariam Desaleg secara tiba-tiba karena tak sanggup menghadapi berbagai kerusuhan dan krisis politik. Status darurat ini diumumkan oleh Dewan Menteri, yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara, pada Jumat 16 Februari 2018.
Menurut stasiun televisi lokal, EBC, status darurat ini efektif berlaku sejak Jumat, 16 Februari 2018. Belum diketahui sampai kapan status ini akan diberlakukan.
Baca: Protes Berkepanjangan, Ethiopia Kondisi Darurat
Ilustrasi kerusuhan. Getty Images
Surat kabar Addis Standard, berdasarkan sumber yang tidak mau dipublikasikan, mewartakan, Dewan Menteri telah mendebat jangka waktu pemberlakuan masa darurat ini, apakah tiga bulan atau enam bulan.
Baca: Pelari Ethiopia Lakukan Protes Politik di Olimpiade
Sebelumnya pada Agustus 2017 lalu, pemerintah Ethiopia mencabut status darurat yang diberlakukan selama 10 bulan setelah ratusan orang tewas dalam unjuk rasa antipemerintah menuntut kebebasan politik yang lebih luas.
Masyarakat Ethiopia, yang sebagian besar etnis Oromo dan Amhara, telah meningkatkan aksi perlawanan mereka sejak 2015 untuk menuntut hak politik yang lebih besar dan menghentikan kekerasan terhadap HAM. Warga berhampuran usai petugas keamanan melepaskan tembakan gas air mata ke arag pengunjuk rasa saat berlangsungnya Festival tahunan Irreecha di kota Bishoftu, wilayah Oromia, Ethiopia, 2 Oktober 2016. Irreecha merupakan festival keagamaan yang digelar untuk memperingati akhir musim hujan. REUTERS
“Cara terbaik untuk memastikan stabilitas pada saat ini adalah tidak mendeklarasikan status darurat, yang pernah terbukti gagal. Status darurat ini tidak perlu, tidak membantu dan tidak bijaksana,” kata Jawar Mohammed, aktivis HAM dari suku Oromo dan Kepala Oromia Media Network, seperti dikutip dari situs Al Jazeera, Sabtu, 17 Februari 2018.
Hailemariam, dari Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia dan berkuasa sejak 2012, mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis 15 Februari 2018. Dia menyebut kerusuhan dan krisis politik di negaranya, yang berlarut-larut faktor utama pengunduran dirinya karena sulit melakukan reformasi yang akan mengarah pada perdamaian yang berkesinambungan dan demokrasi.