TEMPO.CO, Washington -- Pemerintah Amerika Serikat kembali mengenakan sanksi kali ini kepada dua tokoh pengembang misil Korea Utara, Kim Jong Sik dan Ri Pyong Chol, yang bertanggung jawab mengembangkan teknologi rudal balistik antar-benua.
Pada saat yang sama, Rusia menawarkan bantuan untuk menjadi mediator untuk mengurangi ketegangan Washington dan Pyongyang.
Baca: Korea Utara Kecam Sanksi DK PBB sebagai Tindakan Perang
Tekanan kepada Korea Utara ini merupakan lanjutan dari sejumlah kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk membuat negara komunis itu melucuti program senjata nuklirnya. Korea Utara telah menyatakan rudal balistik berhulu ledak nuklir, Hwasong-15, bakal mampu menjangku semua wilayah AS.
Baca: Dukung Sanksi DK PBB Atas Korea Utara, Ini Kata Cina
"Kementerian Keuangan menargetkan pemimpin program rudal balistik Korea Utara sebagai bagian dari tekanan maksimal kami untuk mengisolasi (Korea Utara), dan melakukan denuklirisasi Semenanjung Korea," kata Steve Mnuchin dalam pernyataannya, Rabu, 27 Desember 2017. Sanksi ini bersifat simbolis namun penting agar tidak ada warga negara AS yang mau berhubungan dengan Korea Utara.
Langkah AS ini juga melanjutkan sanksi ekonomi berat yang dikeluarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat pekan lalu sebagai respon atas uji coba rudal balistik Hwasong - 15 pada 29 Nopember lalu. Sanksi PBB itu mencukur suplai minyak mentah dan produk minyak olahan ke Korea Utara. Ini membuat Korea Utara berang dan menyebut sanksi PBB besutan AS itu sebagai tindakan perang.
Uniknya, Cina dan Rusia, yang merupakan sekutu Korea Utara, ikut mendukung pengenaan sanksi ekonomi berat ini. Kedua negara juga secara terbuka menyatakan berlatih penggunaan teknologi pelacakan misil sebagai antisipasi jika konflik di Semenanjung Korea terjadi.
Menurut analis pertahanan Cina, latihan kedua negara ini dilakukan karena sikap Kim Jong Un yang sulit ditebak malah mengkhawatirkan negara sekutunya sendiri.
Mengenai tawaran mediasi dari Rusia, Kremlin mengatakan menunggu respon dari AS dan Korea Utara. "Kesiapan Rusia untuk deeskalasi konflik merupakan hal yang jelas," kata Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin.
Soal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Justin Higgins, mengatakan negaranya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Korea Utara lewat berbagai jalur diplomatik. "Kami ingin Korea Utara tahu bahwa ada jalur berbeda yang bisa ditempuh saat ini. Jadi terserah Korea Utara jika ingin berubah dan kembali ke proses perundingan yang kredibel," kata dia.
REUTERS