TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, yang mewakili faksi Fatah dan mantan pemimpin Hamas, Khaled Mashal, bertemu dan membahas keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Dalam pembicaraan keduanya melalui sambungan telepon pada Kamis, 7 Desember 2017, Abbas menekankan pentingnya penguatan persatuan nasional Palestina. Dia ingin mengakhiri perbedaan internal sesegera mungkin.
Baca: Sekjen PBB Guterres Kritik Keputusan Trump Soal Yerusalem
Abbas juga mengatakan kedua pihak perlu bekerja sama dalam menghadapi tantangan terhadap kepentingan Palestina. Ini termasuk pembangunan pemukiman baru di Yerusalem. Ini seperti dilansir Anadolu Agency pada Jumat, 8 Desember 2017.
Meskipun ada penentangan internasional yang meluas, Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel pada Rabu, 6 Desember 2017.
Baca: Ini 9 Resolusi PBB Soal Yerusalem yang Dilanggar Trump
Menurut Trump, dia telah memberitahu Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk memulai persiapan pemindahan kedutaan Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pergeseran dramatis dalam kebijakan Yerusalem oleh Washington memicu demonstrasi di wilayah Palestina yang diduduki. Sikap penolakan juga ditunjukkan Turki, Mesir, Yordania, Tunisia, Aljazair, Irak dan negara-negara Muslim lainnya. Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Rusia juga mengkritik keputusan Trump dan menyebutnya bisa mengganggu stabilitas keamanan dan proses perdamaian antara Israel dan Palestina.
Yerusalem tetap menjadi jantung konflik Israel-Palestina, dengan orang-orang Palestina berharap bahwa Yerusalem Timur - yang sekarang diduduki oleh Israel - pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota negara Palestina masa depan.
Sebelumnya Abbas telah menegaskan Yerusalem tetap menjadi ibukota abadi Palestina, sementara Mashal menyerukan perlawanan terhadap keputusan Trump.
ANADOLU AGENCY | REUTERS