TEMPO.CO, Riyadh - Kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud di Moskow, Rusia, disebut Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dan Rusia sebagai peristiwa bersejarah. Penguasa tahta kerajaan negara terbesar di Teluk itu, menjadi Raja pertama Arab Saudi yang mengunjungi negara komunis Rusia.
Janji kunjungan yang diberikan oleh negara itu selama bertahun-tahun akhirnya terwujud setelah pada Rabu, 4 Oktober 2017, Raja Salman menginjakkan kakinya di Rusia.
Baca: Bertemu Putin, Raja Salman Beli Rudal S-400 Seharga Rp 40 Triliun
Riyadh dan Moskow telah berselisih selama beberapa dekade. Kedua negara adidaya minyak ini, yang menghasilkan hampir setengah dari minyak mentah dunia selama ini telah bersaing ketat untuk menguasai pangsa pasar. Upaya Moskow yang mendukung pemerintahan Presiden Suriah Bashar Assad telah mengadu Rusia dengan Saudi dan negara-negara Arab Sunni lainnya.
Baca: Hacker Asal Rusia Berhasil Mencuri Cybertools NSA
Namun, dalam setahun terakhir, sebuah pendekatan yang tidak terduga antara kedua negara telah dilakukan di tengah hubungan Moskow yang memburuk dengan Amerika Serikat, sekutu utama Arab Saudi.
"Harapan utama kami adalah bahwa kunjungan ini akan memberi dorongan baru yang kuat untuk pengembangan hubungan bilateral, karena potensi hubungan kami jauh lebih kaya daripada situasi de facto," kata juru bicara Kremlin, Dmitri Peskov
Saudi tidak lagi menuntut pencopotan segera Assad dari kekuasaan sebagai presiden di Suriah. Saudi juga tidak mengecam operasi militer Rusia, yang memasuki tahun ketiganya pada hari Sabtu mendatang, di Suriah.
Pengamat di Moskow mengklaim kunjungan raja ini berkaitan dengan penilaian ulang atas simpati politik terhadap Kremlin di Timur Tengah.
Pengamat mengatakan kebijakan Presiden Donald Trump yang susah diprediksi telah merubah sitasi di Timur Tengah.
"Tiga tahun yang lalu, tindakan Washington sangat penting," kata Anatoly Tsiganok, seorang analis pertahanan yang berbasis di Moskow. "Sekarang, situasi telah berubah, itulah sebabnya sekarang negara-negara Timur Tengah memperhatikan Rusia."
Seorang penasihat Kremlin mengklaim kunjungan Raja Salman terkait dengan kekalahan kelompok oposisi pro-Saudi yang diderita dalam perang Suriah. Selain itu anjloknya harga minyak mentah dunia juga telah berperan penting terhadap hubunggan kedua negara.
Pada pertengahan 2014, harga minyak ambruk dibawah US$ 100 per barel.
Rusia dan Arab Saudi diduga panik, dan mencoba untuk menghasilkan pengurangan produksi minyak yang akan meningkatkan harga. Tapi mereka gagal membuat rencana tindakan, dan Rusia bahkan berjanji untuk meningkatkan produksi.
Raja Salman diperkirakan akan meminta dukungan dan komitmen Rusia untuk memastikan kesepakatan pemotongan produksi berlanjut, menyusul penurunan pendapatan Arab Saudi dari sektor minyak. Arab Saudi dan Rusia sangat bergantung pada ekspor minyak dan turunnya harga minyak mentah yang dimulai pada 2014 mengancam petumbuhan ekonomi kedua negara.
Desember lalu, Moskow dan Riyadh meyakinkan OPEC dan 11 negara non-OPEC untuk mengurangi ekspor minyak mereka sebesar 1,8 juta barel per hari.
Raja Salman juga telah setuju untuk menandatangani kesepakatan senjata senilai US$ 3 miliar di Moskow. Arab Saudi telah lama berniat memperluas daftar pemasok kebutuhan pertahannya di luar Amerika. Rusia, eksportir senjata terbesar kedua di dunia kemudian menjadi pilihannya.
Meskipun tidak ada rincian mengenai kesepakatan senjata yang telah tersedia, ahli militer Tsiganok mengklaim Riyadh sangat ingin mendapatkan rudal balistik Rusia dan sistem pertahanan udara.
"Sistem itu menunjukkan kemampuan besar mereka di Suriah," katanya.
Rusia juga dapat membantu Arab Saudi mewujudkan ambisi nuklir sipilnya.
Kedua negara adalah sekutu lama yang kemudian mengalami hubungan yang renggang akibat perbedaan ideologi dan perebutan pangsa pasar minyak.
Awal hubungan Saudi-Rusia tampak menjanjikan. Komunis Rusia adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Arab Saudi pada tahun 1926. Namun Riyadh dengan cepat mengutuk upaya Moskow merah untuk mengimpor ideologi komunis ke wilayah tersebut.
Uni Soviet mendukung kaum sosialis di Yaman Selatan dan mendukung pemerintah nasionalis di Mesir, Suriah dan Irak. Raja Khalid mengecam invasi Soviet ke Afghanistan pada tahun 1979, dan keputusan Riyadh untuk meningkatkan produksi minyak pada 1980an menghancurkan ekonomi Soviet.
Sejumlah warga Saudi bertempur dalam perang separatis di Chechnya, dan Moskow menuduh pemimpin Muslim Saudi mencoba menyebarluaskan versi keras Islam di wilayah mayoritas Muslim di Rusia selatan itu.
Namun kunjungan Raka Salman kali ini akan menjadi terobosan perdamaian sejak akhir 1960-an.
Meskipun Alexey Malashenko, seorang pakar senior Timur Tengah di Institut Dialog Peradaban, yang berbasis di Moskow, mengatakan Saudi tidak akan mengorbankan aliansi tradisional mereka dengan AS demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow. Dan, Rusia tidak akan mengambil risiko ketergantungannya pada Iran di Timur Tengah.
"Ini adalah kunjungan yang khas dan penuh dengan harapan," katanya. "Ini bagus, tapi itu tidak akan mengubah apapun."
Dalam jadwal kunjungan, Raja Salman akan menemui Presiden Vladimir Putin pada Kamis untuk membahas sejumlah kerjasama, termasuk pertahanan dan energi. Lalu bertemu dengan Perdana Menteri Dmitry Medvedev pada Jumat, sebelum meninggalkan Rusia pada Sabtu.
AL JAZEERA | YON DEMA