CEO Telegram Pavel Durov, Sahabat Navalny, Musuh Putin, hingga Ditangkap Prancis
Editor
Iwan Kurniawan
Selasa, 27 Agustus 2024 18:20 WIB
Dua jam kemudian dia menulis: “Pada tanggal 13 Maret 2014, kantor Kejaksaan meminta saya untuk menutup grup antikorupsi Alexei Navalny. Saya tidak menutup grup ini pada Desember 2011 dan, tentu saja, saya tidak menutupnya sekarang. Dalam beberapa minggu terakhir, saya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Kami berhasil bertahan selama lebih dari sebulan, tetapi sekarang saatnya untuk menyatakan—baik saya maupun tim saya tidak akan melakukan penyensoran politik... Kebebasan informasi adalah hak yang tidak dapat dicabut dari masyarakat pascaindustri.”
Pada 21 April 2014, Durov dipecat dari VKontakte.
Dilema Penangkapan Durov
Durov meninggalkan Rusia dan mendapat kewarganegaraan baru dari Federasi Saint Kitts dan Nevis, negara kepulauan kecil di Karibia, dengan menyumbang US$ 250.000 ke Sugar Industry Diversification Foundation, yayasan milik negara itu yang membuat dia berhak mendapat paspor bebas visa untuk keliling Eropa.
Durov bersama saudaranya, Nikolai, kemudian meluncurkan Telegram, platform berbagi pesan yang berfokus pada enkripsi data. Telegram pada mula berbasis di Berlin, Jerman tapi kemudian pindah ke Dubai, Uni Emirat Arab. Menurut Fortune, pada 2016, Telegram "meledak" dengan 100 juta pengguna aktif setiap bulan, 15 miliar pesan per hari, dan 350.000 pengguna baru mendaftar setiap hari.
Karena datanya yang terenkripsi, Telegram menjadi aplikasi favorit orang-orang yang mau berkomunikasi secara anonim, termasuk kelompok prodemokrasi di negara yang otoritarian. Namun, karena anonimitas itu pula Telegram dituduh telah digunakan untuk berbagai kejahatan, seperti perdagangan narkotika dan penyebaran pesan kelompok terorisme seperti ISIS.
Pada 2018, pemerintah Rusia memblokir akses Telegram, tapi kemudian mencabutnya pada 2020. Kini Telegram telah digunakan pasukan Rusia untuk berkomunikasi dalam perang di Ukraina. Ia juga merupakan sarana utama bagi para blogger dan media militer pro-perang serta jutaan warga Rusia biasa. Penangkapan Durov di Prancis jelas mencemaskan Rusia.
"Penangkapannya mungkin memiliki dasar politik dan menjadi alat untuk mendapatkan akses terhadap informasi pribadi pengguna Telegram. Hal ini tidak dapat dibiarkan," kata Vladislav Davankov, Wakil Ketua Duma, parlemen Rusia, dalam pernyataannya di Telegram. "Hampir tidak ada orang yang berbuat lebih dari dia dalam mengembangkan layanan digital di Rusia dan dunia.
Davankov mendesak Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov untuk meminta pihak berwenang Prancis membebaskan Durov dari tahanan. "Jika pihak berwenang Prancis menolak melepaskan Pavel Durov dari tahanan, saya mengusulkan untuk melakukan segala upaya untuk memindahkannya ke wilayah Uni Emirat Arab atau Federasi Rusia. Tentu saja dengan persetujuannya. #FREEDUROV," katanya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menunggu upaya pengacara Durov membebaskan kliennya. Adapun pemerintah Rusia akan mengambil langkah sendiri. "Kami memiliki undang-undang dan kami akan menggunakannya dalam kasus ini seperti yang kami lakukan dalam kasus lain," kata Zakharova tanpa merinci langkah yang akan diambil Kremlin.
Bagaimana gerakan antikorupsi Alexei Navalny meraih dukungan masyarakat dan jutawan Rusia, termasuk Pavel Durov? Baca selengkapnya: Duri di Jantung Moskow
Pilihan editor:
- Houthi Serang Kapal Tanker Eropa, Tiga Hari Masih Terbakar, Jadi Ancaman Lingkungan
- CEO Telegram Pavel Durov Mengaku Punya 100 Anak Biologis di 12 Negara
- Diserang Hizbullah, Iran Sebut Israel telah Kehilangan Kekuatan