Kasus Serangan Granat, Bangladesh Vonis Mati Dua Eks Menterinya
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Kamis, 11 Oktober 2018 15:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Dhaka telah menjatuhkan hukuman mati kepada 19 orang, termasuk dua mantan menteri Bangladesh. Pengadilan Dhaka juga menghukum pemimpin oposisi atas penjara seumur hidup atas serangan tahun 2004 terhadap Perdana Menteri Sheikh Hasina saat ini.
"Mereka akan digantung di leher mereka," kata Hakim Shahed Nuruddin dari pengadilan khusus, yang juga memberikan hukuman penjara seumur hidup kepada Tarique Rahman, putra mantan Perdana Menteri Khaleda Zia yang diasingkan, seperti dilaporkan Aljazeera, 11 Oktober 2018.
Baca: Rusuh di Bangladesh Berlanjut, Sejumlah Jurnalis Dipukuli
Zia sudah mendekam di dalam penjara Dhaka setelah didakwa dalam kasus korupsi, sebelum pemilu Bangladesh yang dijadwalkan akan diadakan pada akhir tahun ini.
Rahman, yang bertindak sebagai ketua oposisi Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), divonis penjara 10 tahun secara in absentia dalam kasus korupsi yang sama dengan ibunya. Dia telah tinggal di pengasingan di London sejak 2008.
Baca: Konvoi Duta Besar Amerika Serikat Diserang di Bangladesh
Menteri Hukum Bangladesh, Anisul Haque, mengatakan pemerintah akan mengajukan ke pengadilan tinggi untuk menuntut hukuman mati bagi Rahman juga.
"Kami juga akan mengambil langkah diplomatik untuk membawa Tarique kembali dari London," katanya.
Keamanan di dan sekitar pengadilan khusus di ibukota, Dhaka, ditingkatkan untuk mengantisipasi protes dari para pemimpin dan aktivis BNP.
Oposisi Menuduh Vonis Bermotif Balas Dendam
<!--more-->
Para pemimpin senior BNP, termasuk mantan Menteri Negara Dalam Negeri, Lutfuzzaman Babar dan mantan Wakil Menteri Pendidikan, Abdus Salam Pintu, dijatuhkan hukuman mati karena dituduh mendalangi plot untuk membunuh Hasina.
BNP mengatakan bahwa vonis bermotif politik dan partai tidak menerimanya.
Mirza Fakhrul Islam Alamgir, sekretaris jenderal partai, mengatakan vonis terhadap para pemimpinnya adalah contoh lain menggunakan peradilan untuk balas dendam politik.
Dilansir dari Dhaka Tribune, Pengadilan Dhaka mengizinkan semua yang dinyatakan bersalah pada Rabu 10 Oktober untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dalam 30 hari, tetapi mengatakan narapidana yang melarikan diri ke luar negeri dan disidang in absentia, harus menyerahkan diri terlebih dahulu.
Baca: Kritik Protes, Bangladesh Desak Kedubes AS Tarik Pernyataan
Kasus yang dikenal "Kasus serangan granat 21 Agustus" di Bangladesh, berkaitan dengan serangan mematikan terhadap unjuk rasa yang diselenggarakan oleh Hasina dari Liga Awami di Dhaka pada 2004 ketika dia menjadi pemimpin oposisi.
Hasina selamat dari serangan itu setelah beberapa pemimpin partainya membentuk benteng manusia di sekelilingnya, tetapi menyebabkan 24 orang lain tewas, termasuk ketum Liga Awami, Ivy Rahman.
Dokumen-dokumen kasus mengatakan serangan itu adalah "lot yang dirancang cermat untuk membunuh Hasina yang didalangi oleh BNP.
Pemerintah koalisi BNP dan Jamaat-e-Islami, yang berkuasa pada saat serangan itu, dituduh mempercepat penyelidikan untuk melindungi dalangnya.
Setelah putusan pada Rabu 11 Oktober, Sayed Rezaur Rahman, salah satu jaksa utama, mengatakan, "Serangan granat dianggap sebagai salah satu kejahatan paling keji dalam sejarah negara ini. Ini bukan kasus bermotif politik, melainkan kasus kriminal."
Menurut dokumen yang diajukan oleh jaksa, serangan itu dilakukan oleh kelompok bersenjata, Harkat-ul-Jihad (HuJI).
Mengutip dugaan keterlibatan Mufti Abdul Hannan, jaksa penuntut juga menuduh tujuan serangan itu adalah untuk mendirikan "Islam fanatik" di negara Asia selatan.
Baca: Polisi Bangladesh Didesak Bebaskan Fotografer Shahidul Alam
Hannan, seorang pemimpin senior HuJI yang dituduh melakukan beberapa serangan di Bangladesh, dieksekusi tahun lalu.
BNP menuduh bahwa Hasina menghancurkan perbedaan pendapat dan menempatkan saingannya di balik jeruji besi serta peradilan hukuman mati untuk memperkuat kembali posisinya jelang pemilu Bangladesh.