TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan dukungannya atas protes keras terhadap Presiden AS yang baru, Donald Trump.
Sebelumnya, Trump menandatangani surat perintah yang melarang imigran dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke negara Abang Sam tersebut.
Baca juga:
Imigran di Amerika, Pendiri Google Ikut Demo Anti-Trump
Donald Trump Larang Muslim ke AS, Gubernur New York Melawan
Seperti dikutip dari kantor berita NBC, Selasa, 31 Januari 2017, Obama melalui juru bicaranya, Kevin Lewis, menyambut baik berbagai aksi yang digelar oleh komunitas-komunitas di berbagai tempat. Menurut Obama, hal tersebut menunjukkan tingginya partisipasi warga AS.
"Publik menggunakan hak konstitusional mereka untuk berkumpul, berorganisasi, dan mengeluarkan pendapat agar didengar oleh presiden terpilih mereka. Hal itu merupakan sebuah hal yang kita harapkan terjadi ketika nilai-nilai AS tengah dipertaruhkan," kata Obama.
Presiden AS ke-44 tersebut juga membantah anggapan bahwa surat perintah Trump yang melarang imigran dari tujuh negara mayoritas muslim mirip dengan apa yang dilakukannya pada 2011. Saat itu, Obama melarang pemberian visa bagi pengungsi Irak selama enam bulan.
Obama menyatakan, "Sehubungan dengan adanya perbandingan terhadap kebijakan luar negeri Presiden Obama, seperti yang telah kita dengar sebelumnya, Presiden Obama tidak setuju dengan adanya diskriminasi terhadap individu-individu karena keyakinan atau agama mereka."
Simak juga:
Ratusan Warga Demo Bandara JFK, Tuntut Imigran Dibebaskan
Donald Trump Mengaku Tak Larang Muslim Masuk AS, Tapi..
Menurut kantor berita BBC, ratusan diplomat AS di seluruh dunia juga tengah menyusun kritikan resmi terhadap kebijakan Trump membatasi imigran tersebut. Sebuah "dissent cable" atau telegram ketidaksepakatan akan dikirimkan kepada Departemen Luar Negeri AS.
Draft telegram tersebut menyatakan bahwa pembatasan imigran tidak akan membuat AS lebih aman. Hal tersebut malah akan membuat umat muslim di seluruh dunia salah sangka terhadap AS. Seorang pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan, telegram semacam itu belum pernah terjadi sebelumnya.
NBC | BBC | ANGELINA ANJAR SAWITRI