TEMPO.CO, Berlin - Masjid untuk semua muslim tanpa peduli Sunni, Syiah, transgender, maupun muslim tanpa penutup kepala dan wajah, untuk pertama kali didirikan di Jerman.
Masjid untuk semua muslim itu diberi nama Ibn Rushd-Goethe yang berada di dalam gereja Protestan St Johannes Lutheran di Berlin.
Baca: Angela Merkel: Islam Bukan Sumber Terorisme
Seyran Ates, aktivis hak-hak perempuan, menjadi sosok penting di balik pendirian masjid untuk semua muslim di Jerman.
Ates telah mengkampanyekan tempat beribadah untuk semua muslim di Jerman sejak delapan tahun lalu.
"Tak ada lagi yang lebih membahagiakan bagi saya, impian jadi kenyataan. Ini sudah terlalu lama," kata Ates seperti dikutip dari Daily Mail, 16 Juni 2017.
Ates menjelaskan, masjid baru ini akan menjadi tempat bagi paham liberal dan setiap orang disambut hangat dan setara. Perempuan tidak perlu mengenakan penutup kepala dan wajah, dapat menjadi imam, dan berdoa di masjid seperti dilakukan pria muslim di masjid.
Baca: Merkel Serukan Pelarangan Burka di Seluruh Jerman
"Tidak ada doa kebencian menentang demokrasi di sini. Sebaliknya, para pengikut dapat menyatakan keraguannya mengenai keyakinannya dan mendekatkan agama mereka dengan rasa dan alasan, bukan dengan pemujaan buta," kata Ates.
Ates menyadari gagasannya ini akan berpotensi pada ancaman dan kritik dari kelompok muslim konservatif. Ates tidak menghindari perbedaan pendapat itu.
"Saya telah menerima sejumlah pesan dari media sosial, kebanyakan berisikan sumpah serapah. Namun 95 persen memberikan umpan balik yang indah dan positif," kata Ates.
Nama masjid untuk semua muslim ini diambil dari dua tokoh terkenal dunia, yakni filosof Ibnu Rushd dan penulis terkenal Jerman, Johann Wofgang Goethe.
Baca: Cegah Terorisme, Jerman Luncurkan Konsep Pertahanan Sipil
"Begitu banyak teror dan begitu banyak kejahatan terjadi atas nama agama saya. Hal penting adalah kami, muslim modern dan liberal, juga harus menunjukkan wajah kami di publik," kata Ates menjelaskan alasan pendirian masjid itu.
Tentang larangan mengenakan jilbab atau cadar ke dalam masjid, Ates menjelaskan, aturan ini dibuat untuk alasan keamanan sekaligus keyakinannya bahwa penutup kepala dan wajah itu tidak ada hubungannya dengan agama. "Itu lebih pada pernyataan politik," ujarnya.
Lebih dari 4 juta muslim tinggal di Jerman, mayoritas berasal dari Turki dan kemudian dari negara-negara Balkan, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Setelah impiannya membangun masjid untuk semua muslim di Jerman terwujud, Ates berencana melanjutkan studi untuk mempelajari teologi Islam dan Arab di Berlin pada musim gugur tahun ini. "Saya mau menjadi imam bagi diri saya sendiri."
DAILY MAIL | MARIA RITA