TEMPO.CO, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte menghadapi risiko pemakzulan setelah mengaku membunuh penjahat saat menjadi Wali Kota Davao. Senator Leila de Lima, kritikus utama Presiden Duterte, mengatakan pengakuan sang presiden dapat dijadikan dasar pemakzulan.
"Ini satu pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan satu kesalahan yang termasuk dalam kategori kejahatan berat. Kejahatan berat adalah satu dasar untuk proses pemberhentian presiden yang konstitusional," kata De Lima, Kamis, 15 Desember 2016.
Pendapat yang sama disampaikan Ketua Komite Keadilan Senat Richard Gordon. Menurut dia, ucapan kontroversial itu mengarahkan Duterte kepada kemungkinan proses pemecatan.
"Ketika mengeluarkan pernyataan itu, dia mengungkapkan siapa dirinya. Jalan menurut hukum adalah melanjutkan proses pemecatan," ujar Gordon. Namun Gordon tidak terkejut dengan pernyataan Duterte itu.
Pada awal pekan ini, Duterte menuturkan, saat menjadi Wali Kota Davao, dia biasa berpatroli naik sepeda motor mencari penjahat untuk ditembak. "Saya biasa melakukannya sendiri (membunuh penjahat). Jika saya bisa melakukan itu, mengapa kamu (polisi) tidak bisa?" katanya.
Kampanye antinarkoba yang digelar Duterte selama lima bulan terakhir telah menyebabkan sekitar 5.000 orang tewas. Terduga pengedar narkoba dan pecandu narkoba ditembak mati tanpa proses hukum.
Sejak Duterte menjadi presiden pada Juli lalu, lebih dari 2.000 tersangka penjahat dibunuh dalam operasi polisi. Kebanyakan penjahat itu mencoba melawan ketika ditahan. Sekitar 3.000 tersangka kasus narkoba mati dibunuh warga sipil yang tidak dikenal.
GUARDIAN | INQUIRER | CNN | YON DEMA