TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi menegaskan diplomat Indonesia harus siap menghadapi kondisi darurat, seperti repatriasi dan evakuasi warga negara. Dinamika politik global membuat keterampilan evakuasi dan repatriasi tersebut harus dikuasai oleh para diplomat. “Hal ini tidak terbayangkan saat saya pertama kali terjun ke dunia diplomasi pada 30 tahun silam,” kata Retno dalam kunjungannya ke Tempo, 30 Desember 2015.
Repatriasi dan evakuasi warga negara, menurut Retno, menjadi catatan penting Kementerian Luar Negeri selama 2015. Salah satu proses evakuasi yang paling berkesan bagi Retno adalah saat Kemenlu berupaya menyelamatkan sekitar 2.000-an WNI keluar dari Yaman. Dia mengisahkan betapa sulitnya membawa warga negara Indonesia keluar dari wilayah konflik di Yaman, terutama di jalur selatan. “Aku ke mana-mana membawa peta sambil berkoordinasi dengan teman-teman di Yaman,” ujar dia.
Segala upaya dilakukan termasuk menggunakan panduan teknologi untuk menghitung kapan WNI bisa bergerak keluar Yaman. “Kami sempat beberapa kali gagal. Namun dengan panduan teknologi, saya bisa melihat dalam hitungan real time, mereka bisa bergerak, tidak macet, lalu mundur lagi,” tutur dia mengenang masa-masa itu.
Proses evakuasi menegangkan itu berhasil memulangkan sebanyak 2.239 WNI dari Yaman. Bersama rombongan tersebut, Indonesia juga merepatriasi sekitar 177 warga negara asing. Selain dari daerah konflik, Kementerian Luar Negeri telah memulangkan lebih dari 93 ribu tenaga kerja Indonesia bermasalah di luar negeri selama 2015.
Pengalaman-pengalaman kejadian tidak terduga itu membuat Kementerian Luar Negeri membangun sebuah sistem, standar operasional dalam repatriasi WNI. “Kita memiliki 15 SOP yang di-ISO-kan sampai terbentuk sebuah sistem, sehingga jika terjadi repatriasi ada standarnya,” kata Retno.
Tahun depan, menurut Retno, kebijakan luar negeri akan melanjutkan rencana yang telah ada. Sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo, Kementerian Luar Negeri telah menetapkan prioritas menjaga kedaulatan Indonesia, meningkatkan perlindungan warga negara dan badan hukum Indonesia, serta meningkatkan diplomasi ekonomi.
Terkait dengan kedaulatan, terutama perbatasan, Menlu Retno menyatakan sebanyak 23 negosiasi yang selama ini “tidur” diaktifkan kembali. “Itu berarti hampir satu bulan dua kali negosiasi,” kata Retno. Adapun isu-isu internasional yang menjadi modalitas kebijakan luar negeri Indonesia, seperti isu demokrasi, Islam, kontra-terorisme, dan pasukan perdamaian, akan terus dikuatkan.
NATALIA SANTI | SITA PLANASARI AQUADINI