Pertemuan internasional di Institut Nobel di Oslo, Norwegia, dibuka Selasa, 26 Mei 2015, oleh mantan Perdana Menteri Norwegia Kjell Magne Bondevik. Negaranya menjanjikan US$ 1,3 juta untuk membantu Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, dengan meningkatkan kondisi hidup, mencegah orang melarikan diri melalui laut, dan membatasi ketegangan antara kelompok etnis.
Pertemuan tersebut menampilkan laporan video dari pemenang Nobel Perdamaian, yakni Uskup Desmond Tutu, pemenang Nobel pada 1984 dari Afrika Selatan, José Ramos-Horta, pemenang Nobel pada 1996 dari Timor Leste, dan Mairead Maguire, pemenang Nobel bersama Betty Williams pada 1976 dari Irlandia Utara. (Simak: Derita Rohingya: Suu Kyi Tetap Bungkam, Partai Buka Suara)
Di samping para pemenang Nobel, hadir pula filantropis George Soros, yang melarikan diri ketika negaranya, Hongaria, diduduki serdadu Nazi pimpinan Hitler. Soros mengatakan bahwa "ancaman yang paling mendesak untuk transisi di Burma adalah meningkatnya sentimen anti-Muslim."
"Sebagai seorang Yahudi di Budapest, aku juga adalah Rohingya," kata Soros dalam sebuah pernyataannya melalui video. "Kasus ini sejajar dengan genosida Nazi yang mengkhawatirkan. Untungnya, kami belum mencapai tahap pembunuhan massal."
Pesan konferensi itu berfokus pada cara-cara mengakhiri penganiayaan panjang Rohingya selama bebeapa dekade, dan pentingnya pembelaan.
"Jika Anda netral dalam situasi ketidakadilan, Anda memilih sisi para penindas," kata Tutu, yang memenangkan Hadiah Nobel karena perlawanannya kepada rezim apartheid yang brutal di Afrika Selatan, dalam pernyataan videonya. "Jika gajah menginjak kaki tikus dan Anda mengatakan itu netral, tikus tidak akan menghargai netralitas Anda."
Kebebasan berekspresi yang menyertai awal perjuangan, kini dihadang kebuntuan politik dengan sisi gelapnya, yang meninggalkan kebencian mendalam terhadap minoritas Rohingya yang berkulit gelap. (Simak: VIDEO: Perahu Kecil Aceh Selamatkan 433 Pengungsi Rohingya)
Lewat gerakan biksu garis keras yang mengipasi kemarahan, massa yang menghunus parang mulai turun ke jalanan pada 2012, menewaskan hingga 280 orang. Sekitar 140 ribu orang lainnya menyingkir ke kamp-kamp pengungsian yang berdebu dan dekil. Mereka memiliki akses terbatas ke sekolah dan perawatan kesehatan yang memadai. Mereka tidak dapat bergerak bebas, dan harus membayar suap yang besar untuk melewati barikade polisi, bahkan untuk keadaan darurat.
Pemerintah menegaskan warga Rohingya pendatang ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Pemerintah membantah mereka memiliki kewarganegaraan, yang menambah keputusasaan sehingga memicu eksodus dari sekitar 100 ribu Rohingya dalam tiga tahun terakhir. Pihak berwenang menolak mengidentifikasi mereka sebagai "Rohingya" dan menggunakan "Bengali" sebagai gantinya. Suu Kyi juga menghindari sebutan umum dan hanya menyebut Rohingya sebagai "muslim."