TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal. Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.
Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka “dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia. Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut,yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.Berikut tulisan kelima dari enam tulisan yang disajikan disini.
Dalam mimpinya, Isabelinha Pinto, 40 tahun, melihat rumahnya di Bekasi diterjang tsunami. Anehnya, tsunami itu berasal dari Laut Timor. Esok harinya ia merasakan semilir angin seperti suasana di padang savana Timor. Kejadian-kejadian itu membuatnya semakin gundah. Doa Novena Salam Maria yang ia deraskan malam tak menenangkan pikirannya. Keinginan bertemu dengan orang tua kandungnya muncul tiba-tiba pada 13 Juni 2009 itu. (Baca: Kisah Mengindonesikan Paksa Anak Timor Leste (1))
Perpisahan Linha dengan keluarganya terjadi saat usianya menginjak enam tahun. Ibunya Balbina da Costa Soares dan tantenya Manakau mengantarnya ke Pelabuhan Laga, Baucau, pada 1980. Di sana mereka berpisah. Linha dibawa seorang sersan muda keturunan Manado, YS. Dia diangkat secara sah dengan surat resmi. Surat itu ditandatangani oleh ayahnya, Manuel de Jesus Pinto, pejabat setingkat kecamatan dan beberapa petinggi ABRI. Dia diangkat anak karena si sersan tak punya anak perempuan. Dia juga dijanjikan akan mendapat pendidikan seperti yang diinginkan keluarganya.
Kapal meninggalkan Pelabuhan Laga. Linha kecil merasa sedih, takut, dan menangis sepanjang perjalanan. Dia melihat banyak anak-anak sebayanya di kapal. Sebagian dari mereka menangis. Di tengah laut, mereka berpindah kapal tentara yang lebih besar. Mereka diancam jika terus menangis akan dibuang ke laut.
Setiba di Surabaya, Linha mengingat ada petugas yang bertanya apakah mereka anak-anak yang dijual kepada tentara. Linha dilarang bersuara oleh YS. Kapal meneruskan perjalanan hingga ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Linha kemudian bersama YS menuju sebuah asrama tentara di daerah Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat.
Linha tinggal di asrama itu bersama keluarga barunya hingga 1984. (Baca: Identitas Ribuan Anak Timor Leste Diganti (2))
Sejak awal dia merasa tak kerasan di rumah itu karena ibu angkatnya tak menyukai kehadirannya. Dia tumbuh bersama lima anak laki-laki keluarga angkatnya. Dia sering diperlakukan kasar dan diskriminatif. Dia harus bangun pukul 04.00 pagi dan disuruh mencuci pakaian keluarga itu. Dia juga mengaku hanya diberi makan sehari sekali dan sering mengambil susu persediaan tentara ketika mereka sedang berlatih.
Linha pernah juga dibawa ke keluarga ayah angkatnya di Manado. Di sana pun dia juga tak disukai. Ketika mulai masuk SMP, keluarga di Manado mengaku tak mau lagi membiayai sekolahnya. Dia pun dipindahkan ke keluarga lainnya. Namun sepupu ayah angkatnya lalu memintanya tinggal di rumahnya. Di sini Linha merasa sedikit tenang dan kerasan. “Mereka punya dua anak laki-laki dan saya diperlakukan dengan baik,” ujarnya.
Linha diminta kembali ke Bekasi saat duduk di bangku SMA kelas dua. Rupanya waktu tak menghapuskan rasa benci ibu angkatnya dan beberapa saudara angkatnya. Yang membuat Linha semakin tak kerasan adalah pelecehan-pelecehan seksual yang diterima dari ayah angkatnya. “Sejak saya kecil dia sudah melakukan itu. Hanya perkosaan yang tidak dilakukan,” ujar Linha.
Karena tak kuat menanggung beban, Linha akhirnya keluar dari rumah itu. Dia bekerja apa saja untuk menghidupi diri, menyelesaikan sekolah, dan sempat mencicipi bangku kuliah. Keluarga sepupu ayah angkatnya juga membantu biaya sekolahnya. Dia pun sempat menjadi tenaga kerja wanita di Jepang tapi tak lama ia kembali ke Indonesia. Lantas, ia bertemu dengan teman Timor Leste dan keluarga yang mengangkatnya menjadi anak di Yogyakarta. Di sana pula dia berkenalan dengan lelaki yang menjadi suaminya sekarang, I.G. Sayudiyanta. Kini mereka hidup tenang di Pondok Timur Indah, Bekasi, membesarkan kedua anaknya, Zefanya Hiskia Sandy Respaty dan Zefasca Hilkia Sean Ryotaro.
Dua hari setelah mimpinya melihat savana dan Laut Timor itu, tepatnya pada 15 Juni 2009, secara tak terduga adik angkatnya menelepon dia, mengabarkan bahwa saudara sepupu Linha dari Timor ingin mengunjungi rumah ayah angkatnya. Mereka mengetahui alamat ayah angkat Linha setelah mencari informasi ke markas Komando Rayon Militer yang menyimpan data tentang pengangkatan anak Timor Timur pada 1979. (Baca: Kursi Kosong yang Selalu Ada (3))
“Antara percaya atau tidak, saya gemetar mendengar berita itu,” ujar Linha kepada Tempo. Linha lantas menghubungkan dengan firasat mimpinya itu.
Pada waktu yang telah ditentukan esok harinya, datanglah seorang laki-laki muda mengetuk pintu rumah Linha. Sang tamu harus menunggu lama di ruang tamu karena Linha gugup untuk keluar. Alih-alih menemui tamunya, Linha malah berlari ke depan salib dan berdoa. Setelah didorong anak keduanya, barulah Linha menyambut tamunya yang ternyata adalah sepupunya (anak tantenya) yang bernama Boy.
Ternyata Boy, selagi menanti Linha keluar, telah berkomunikasi dengan ibu Linha di Dili. Untuk memastikan bahwa Linha adalah si anak hilang, sang ibu berpesan kepada Boy untuk melihat apakah ada bekas luka bakar di lengan kiri atas Linha. Dan ternyata semua klop. Pecahlah tangis kedua orang ini. Haru juga pecah di seberang telepon ketika Boy menghubungkan Isabelinha dengan ibunya.
Pada 18 Desember 2009, untuk pertama kalinya Linha bersama suami dan anaknya menginjakkan kaki ke Dili. Pulang setelah puluhan tahun ia dianggap mati. Selama itu pula misa arwah selalu dipanjatkan. Dia mulanya tak boleh menginjakkan kaki di rumah keluarga di Dili. Dia dilarang memanggil orang yang dikenalnya, dilarang menyentuh, dibopong memasuki rumah. (Baca: Selebaran yang Memanggil Pulang (4))
Serangkaian adat penghormatan kepada tetua pun dilakukan. Rupanya, Linha berasal dari golongan terhormat, keturunan raja di sana. Setelah selesai, Linha dan suaminya dipersilakan berdansa untuk pertama kalinya. “Kami bingung disuruh dansa. Ya sudah, asal maju-mundur saja. Baru setelah itu diikuti hadirin,” ujar Linha sambil tertawa mengenang kejadian itu.
Dian Yuliastuti | Purwani Diyah Prabandari (Jakarta) | Sri Pudyastuti Baumeister (Stuttgart)