TEMPO.CO, Jakarta -Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal. Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.
Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka “dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia. Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya. Berikut tulisan keempat dari enam tulisan yang disajikan disini.
Tak mudah bagi Vitor Kaimanu da Costa Pinto, 37 tahun, bertemu dengan keluarga besarnya di Bacau, Timor Leste. Butuh waktu 26 tahun bagi pria yang kini bekerja di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu untuk mengetahui siapa ayah dan ibunya.
Kejadian bermula dari depan Gereja Baguia, Baucau, saat Vitor yang berusia tiga tahun dibawa oleh PS, seorang kontraktor dan tenaga bantuan operasional (TBO). Dengan surat perjalanan yang ditandatangani camat, PS membawa Vitor dan belasan anak-anak panti asuhan yang dikelola seorang pastor dari Spanyol ke Jakarta pada 1979. (Baca: Kisah Mengindonesiakan Paksa Anak Timor Leste (1))
Vitor tinggal di rumah PS bersama tiga anak kandung keluarga itu. Ibu angkatnya tak terlalu suka kehadirannya karena menambah beban keluarga. Vitor pun sempat beberapa kali pindah rumah, sekali waktu ia tinggal di rumah kakak PS di Cijantung, pernah pula di keluarga adik PS.
Saat duduk di kelas lima SD, Vitor mencoba menanyakan perihal keluarganya. PS memberi tahu bahwa ayahnya seorang milisi. “Sosoknya tinggi,” kata Vitor menirukan ayah angkatnya itu. “Dia tak bercerita banyak, hanya menceritakan bahwa ayah saya pernah bertugas di Baguia, Viqueque, dan Los Palos.” Memasuki bangku SMP, Vitor memutuskan keluar dari rumah, berusaha mandiri dan mencari penghidupan sendiri dengan menjadi kenek tukang bangunan, lalu bekerja di toko bunga. Hal itu dilakukan hingga dia SMA.
Pada usia remaja ini, Vitor mulai melihat aksi-aksi demo dan mulai ikut-ikutan. Hingga suatu ketika dia melihat aksi demo soal Timor Timur di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum. Dari selebaran yang diberikan demonstran, Vitor menjadi tertarik bergabung karena merasa sebagai orang Timor Timur. Mulai 1995, ia aktif memimpin demo buruh dan advokasi masalah lainnya.
Aktivitasnya ini menyebabkan dia sempat dipenjara di Cipinang dan bertemu dengan pemimpin Fretilin, Xanana Gusmao. Uniknya, selama bergaul dengan sesama aktivis, Vitor tak menceritakan dirinya sebagai orang Timor Timur. (Baca: Identitas Ribuan Anak Timor Leste Diganti (2) )
Vitor mencoba mencari keluarganya pada 2004. Ia hanya mengantongi secuil petunjuk tentang keluarganya. Dia menggunakan jalan darat menuju Kupang, menembus Timor Leste melalui Atambua dengan biro perjalanan seharga Rp 145 ribu. “Saya mendapatkan visa dan paspor di sana,” ujarnya.
Sesampai di Dili, dia menuju Yayasan HAK, sebuah organisasi yang mengadvokasi hukum dan hak asasi manusia di Timor Leste. Beberapa pengurus dia kenal dan bersedia membantu. Mereka lalu menelusuri jejak keluarga Vitor dengan mendatangi Camat Bagia. Sayang, sang camat tak mempunyai informasi. Sedikit titik terang muncul tatkala seseorang bernama Oscar yang yakin mengenal ayah dan kakak Vitor. Lalu Oscar datang dengan seorang laki-laki paruh baya.
Saat itu Vitor sedang duduk-duduk ketika laki-laki berkata, ”Itu betul anak Alberto. Waktu di hutan, saya yang mengawal. Dia dibawa gerobak didorong-dorong,” ujar laki-laki yang ternyata adalah paman Vitor.
Si lelaki sepuh mengatakan Vitor anak Alberto dan Tria-Maria. Wajah Vitor sangat mirip mereka. Pertemuan itu terjadi pada 16 Januari 2005. Vitor lalu dibawa ke rumah sang paman. “Tidak keruan juga rasanya, antara percaya dan tidak,” ujarnya.
Hari berikutnya Vitor bertemu keluarga lainnya dari Viqueque, Baucau. Saat bertemu mereka pun tak bisa langsung berkomunikasi. Beruntung, salah satu sepupunya bisa berbahasa Indonesia karena pernah kuliah di Jember, Jawa Timur. Dari sana Vitor mengetahui silsilah keluarganya. Kedua orang tuanya sudah meninggal.Vitor tak diizinkan melihat kuburan mereka. “Karena belum dilakukan upacara adat,” ujar Vitor.
Pada 2010, Vitor kembali lagi ke Timor Leste. Kali ini dia kembali kepada keluarga besarnya disertai upacara adat yang menghabiskan dana hingga US$ 7.000. Upacara ini digelar di Salamalare, Laga, Baucau. Teman-temannya membentuk kepanitiaan dan mengumpulkan dana upacara.
Acara adat ini rupanya untuk “menghidupkan” lagi dirinya yang sudah dianggap mati. Sebuah batu nisan konon menandai kuburannya. Tetapi Vitor pun tak diperbolehkan melihat kuburannya itu. Setelah upacara berlangsung, batu nisan pun dibuang. (Baca:Kursi Kosong yang Selalu Ada (3))
Kini ia masih terus mencari Batista, kakak kandungnya semata wayang. Batista konon berada di Surabaya dan bergabung di Angkatan Laut. Tapi hingga kini belum ada titik terang. Kakaknya pun bernasib sama dengan dirinya, diambil saat keadaan perang.
Dian Yuliastuti | Purwani Diyah Prabandari (Jakarta) | Sri Pudyastuti Baumeister (Stuttgart)
Topik terhangat
Berita terkait
Identitas Ribuan Anak Timor Leste Diganti (2)
Kursi Kosong yang Selalu Ada (3)
Misa Arwah dan Dansa Sang Putri (5)
Anak-anak Timor Leste Menemukan Jalan Pulang (6)