TEMPO.CO , OSLO—Ribuan warga Norwegia, Ahad 22 Juli, berkumpul dan mengheningkan cipta di depan kantor pemerintah yang masih hancur sejak serangan bom Anders Behring Breivik, setahun lalu. Massa juga berkumpul di Pulau Utoeya, lokasi pembantaian 69 remaja yang tengah mengikuti kemah musim panas Partai Buruh.
“Bom dan pembantaian dilakukan untuk mengubah Norwegia. Rakyat melawan dengan semakin menghargai nilai-nilai yang telah kita akui. Breivik gagal dan rakyat menang,” kata Perdana Menteri Jens Stoltenberg dalam pidatonya di hadapan massa yang membawa mawar putih dan mewah di Oslo.
Dalam sebuah misa khusus di Katedral Oslo, Uskup Helga Haugland Byfuglien mengatakan kepada rakyat Norwegia, ”Sinar telah menerangi kegelapan. Kegelapan tak dapat menghalanginya.”
Salah seorang survivor serangan di Pulau Utoeya, Vegard Groeslie Wennesland, mengakui dirinya sulit melupakan musibah 22 Juli itu. “Saya kehilangan teman untuk berbagi dan meminta nasihat,” ujarnya, pilu.
Di pulau tersebut, sejumlah korban yang masih hidup berkumpul untuk mengenang rekan-rekan mereka. Mereka melepaskan sebuah balon besar berbentuk hati dengan pesan-pesan khusus yang ditempelkan.
“Musibah itu mengubah saya. Kini saya lebih menghargai hidup dan menikmatinya,” tutur Wennesland yang selamat dari berondongan peluru Breivik karena bersembunyi bersama 50 rekan lain di sebuah kabin.
Pembantaian massal ini menurut Breivik dilakukan karena para remaja tersebut dianggap “pengkhianat” bangsa. Ia menuding para korban mendukung multikuturisme dan imigrasi warga muslim. Ia pun meledakkan bom di luar gedung parlemen yang menewaskan delapan orang dan menembaki 69 remaja di Pulau Utoeya.
Hingga kini pengadilan pria 33 tahun itu masih berlangsung. Keputusan apakah Breivik waras atau sakit jiwa akan disampaikan pada 24 Agustus mendatang. Jika terbukti sakit jiwa, ia akan dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, jika terbukti waras, ia hanya mendekam selama 21 tahun di bui, meski masih ada kemungkinan untuk diperberat.
REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI