TEMPO.CO, Jakarta - Masoud Pezeshkian yang moderat dan tidak terkenal telah memenangkan pemilihan presiden putaran kedua di negara itu, kata kementerian dalam negeri pada Sabtu, 6 Juli 2024. Ia berjanji untuk membuka Iran kepada dunia dan memberikan kebebasan yang didambakan rakyatnya,
“Dengan memperoleh mayoritas suara pada hari Jumat, Pezeshkian telah menjadi presiden Iran berikutnya,” katanya.
Partisipasinya sekitar 50% dalam persaingan ketat antara Pezeshkian, satu-satunya kandidat moderat dalam empat kandidat, dan mantan perunding nuklir garis keras Saeed Jalili, seorang pendukung setia untuk memperdalam hubungan dengan Rusia dan Cina.
Pemilihan umum pada Jumat ini menyusul pemungutan suara pada 28 Juni dengan jumlah pemilih yang secara historis rendah, ketika lebih dari 60% pemilih Iran abstain dari pemilihan sela untuk pengganti Ebrahim Raisi, setelah kematiannya dalam kecelakaan helikopter.
Video di media sosial menunjukkan pendukung Pezeshkian menari di jalan-jalan di banyak kota besar dan kecil di seluruh negeri dan pengendara membunyikan klakson mobil untuk merayakan kemenangannya.
Warga di kota barat laut Urmia, kampung halaman Pezeshkian, membagikan permen di jalanan, kata para saksi mata.
Meskipun pemilu ini diperkirakan tidak akan berdampak besar terhadap kebijakan Republik Islam, presiden akan terlibat erat dalam pemilihan penerus Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran yang berusia 85 tahun, yang bertanggung jawab atas semua urusan utama negara.
Jumlah pemilih yang berpartisipasi telah menurun selama empat tahun terakhir, yang menurut para kritikus menggarisbawahi bahwa dukungan terhadap pemerintahan ulama telah terkikis pada saat meningkatnya ketidakpuasan masyarakat atas kesulitan ekonomi dan pembatasan kebebasan politik dan sosial.
Hanya 48% pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu 2021 yang membawa Raisi berkuasa, dan jumlah pemilih mencapai 41% dalam pemilu parlemen pada bulan Maret.
Pemilu tersebut bertepatan dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah akibat perang antara Israel dan sekutu Iran Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, serta meningkatnya tekanan Barat terhadap Iran atas program pengayaan uraniumnya yang berkembang pesat.
Presiden berikutnya diperkirakan tidak akan menghasilkan perubahan besar dalam kebijakan program nuklir atau perubahan dalam dukungan terhadap kelompok milisi di Timur Tengah, namun ia menjalankan pemerintahan sehari-hari dan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri dan dalam negeri Iran.